BRIGADIR POLRI GEL.1 TA.2007

NTS COMMUNITY POLRI 2007. WE ARE ALL ORDINARY. WE ARE ALL SPECTACULAR. WE ARE ALL BOLD. WE ARE ALL HEROES!! TO PROTECT AND TO SERVE... WITH HONOR, SERVICE, HONESTY, KINDNESS, COMPASSION, EMPATHY, SYMPHATY, BRAVERY, JUSTICE, RESPECT, PERSONAL COURAGE, HARD WORK, LOYALTY & INTEGRITY... KEEP UNITY!!!

Sabtu, 15 Februari 2014

DISKRESI DAN PENEGAKKAN HUKUM


DISKRESI KEPOLISIAN

  

Diskresi  Kepolisian pada dasarnya merupakan kewenangan Kepolisian yang bersumber pada asas Kewajiban umum Kepolisian ( Plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri , dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

Diskresi Kepolisian di Indonesia secara yuridis diatur pada pasal 18 UU No 2 2002 yaitu “ Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri “  , hal tersebut mengandung maksud bahwa seorang anggota Polri yang melaksanakan tugasnnya di tengah tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum.

Diskresi Polisi dapat pula diartikan sebagai wewenang Pejabat Polisi untuk memilih bertindak atau tidak bertindak secara legal atau ilegal dalam menjalankan tugasnya (Davies 1969). Diskresi membolehkan seorang Polisi untuk memilih diantara berbagai peran (memelihara ketertiban, menegakkan hukum atau melindungi masyarakat) taktik (menegakkan Undang-Undang Lalu Lintas dengan berpatroli atau berjaga pada suatu tempat) ataupun tujuan (menilang pelanggar atau menasehatinya) dalam pelaksanaan tugasnya.

Seorang pejabat Polisi dapat menerapkan diskresi dalam berbagai kejadian yang dihadapinya sehari-hari tetapi berbagai literatur tentang diskresi lebih difokuskan ­kepada penindakan selektif (Selective Enforcement) yaitu berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi apakah seorang pelanggar hukum akan ditindak atau tidak. Diskresi pada umumnya dikaitkan kepada dua konsep yaitu penindakan selektif dan patroli terarah (Directed Patrol).

Penindakan selektif adalah suatu bentuk diskresi administrasi dimana pembuat kebijakan atau pemimpin menentukan prioritas bagi berbagai unit satuan bawahannya. Sebagai contoh adanya kebijakan untuk menindak para pengedar narkoba dan membiarkan para penggunanya, membiarkan prostitusi ditempat­-tempat tertentu dan menindak para pelacur jalanan. Patroli terarah adalah contoh diskresi supervisor dimana supervisor memerintahkan anggota-anggotanya untuk mengawasi secara ketat suatu wilayah tertentu atau suatu kegiatan tertentu. Sebagai contoh karena adanya laporan masyarakat seorang Inspektur Polisi memerintahkan petugas patroli untuk membubarkan kerumunan pemuda yang menganggu ketertiban yang biasanya dibiarkan. Contoh lain adalah perintah untuk menilang kendaraan-kendaraan yang parkir pada tempat tertentu dengan aiasan menganggu kelancaran lalu lintas.

Penggunaan wewenang diskresi oleh Polisi baru akhir-akhir ini diakui sebagai suatu yang wajar dari kewenangan Polisi. Sebelumnya pimpinan Polisi dan masyarakat beranggapan bahwa Polisi harus menindak setiap pelanggar ketentuan hukum dan membiarkan atau tidak melaksanakan ketentuan tersebut merupakan pelanggaran hukum oleh Polisi. Sebagian kecil anggota DPR, Jaksa dan Hakim masih memegang anggapan yang demikian. Para pimpinan Polisi masih ragu-ragu untuk mengakui bahwa Pejabat Polisi selalu menggunakan diskresi dalam menegakkan hukum dan bahwa mereka secara diam-diam menetapkan kebijaksanaan untuk tidak melaksanakan penindakan secara penuh terhadap kejahatan-kejahatan kecil ataupun pelanggaran terhadap peraturan daerah.

Mereka khawatir masyarakat akan protes bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil atau timbulnya tuntutan ganti rugi da!am hal terjadinya kecelakaan sebagai akibat dibiarkannya pelanggaran lalu lintas.

Williams (1984), H. Goldstein (1977) clan Davis (1969, 1975) menyatakan tentang tidak tepatnya pendapat bahwa Undang-Undang bermaksud agar setiap ketentuan hukum harus ditegakkan pada semua situasi. Davis menyatakan tentang keputusan para pembuat hukum baik tingkat Negara Bagian maupun Federal juga mensyahkan preseden teritang keputusan penindakan selektif oleh pimpinan kepolisian. Sedangkan Williams dan Goldstein menyatakan tentang sejarah pembentukan Undang-Undang, kasus-kasus hukum tertentu dan keterbatasan Pejabat Polisi merupakan bukti bahwa para pembuat tidak mewajibkan Polisi untuk menegakkan setiap Undang-Undang secara penuh. Keputusan anggota untuk tidak menindak pelanggar hukum pada situasi tertentu tidak dapat dikritik atas dasar bahwa perbuatan tersebut adalah pelanggaran hukum. Sebaliknya penggunaan diskresi secara tidak benar dapat dikritik dengan alasan lain.

Oleh karena itu dalam Ilmu Hukum Kepolisian dikenal beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang anngota kepolisian akan melakukan diskresi yaitu :

Tindakan harus benar benar diperlukan (noodzakelijk notwendig) atau asas Keperluan.

Tindakan yang diambil harus benar benar untuk kepentingan tugas kepolisian (zakelijk, sachlich).

Tindakan yang paling tepat untuk mencapai saaran yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawaturkan.

      Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan (zweckmassig, doelmatig).

Azas Keseimbangan (everendig)

      Dalam mengambil tindakan ,harus senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknnya)tindakan atau sarana yang digunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.

 

Pengaruh Diskresi Terhadap Hukum

 

            Dengan diterapkannya Diskresi Kepolisian mangakibatkan implikasi terhadap operasionalisi hukum , yaitu dengan dilaksanakkannya Diskresi Kepolisian maka hukum yang ada dan berlaku dikonfrontasikan dengan realita kehidupan masyarakat.disini kemangkusan dan kesangkilan hukum dalam mengatasi permasalahan hidup dan kehidupan masyarakat dipertimbangkan. Bila menurut pertimbangan obyektif memprediksikan bahwa ketentuan hukum itu merupakan solusi pemecahan permasalahan yang paling tepat dari semua alternatif emecahan yang ada, maka ketentuan hukum itulah yang akan diterapkan. Sebaliknya bila ketentuan hukum itu tidak akan menguntungkan, terlebih lebih lagi bila justeru akan menimbulkan situasi dan kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya, maka ketentuan hukum itu tidak akan diterapkan alias dikesampingkan atau dipinggirkan. Sebagai contoh ketentuan lalu lintas tentang garis as jalan yang tidak terputus putus, yang terpaksa harus dilanggar oleh pengguna jalan karena adannya hambatan truk mogok didepannya. Ketentuan lalu lintas ini pada situasi dan kondisi yang demikian tidak dapat diterapkan, sebab bila diterapkan justeru akan menimbulkan situasi dan kondisi lalu lintas yang semakin buruk yang selanjutnya akan berkembang menjadi terganggunya stabilitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam hal penyampingan dan peminggiran hukum ini, maka diskresi kepolisian barakses negatif terhadap penegakkan hukum. Ini sebetulnya merupakan tindakan pelecehan terhadap hukum . Wibawa hukum disini diinjak injak . Namun seperti dijelaskan diatas bahwa hukum itu tuidak sepenuhnya memadai dan tidak selalu dapat memecahkan permasalahan masyarakat secara sempurna.Hukum itu selain memiliki keunggulan keunggulan komparatif juga mempunyai kelemahan kelemahan secra mendasar yang tidak dapat diabaikan , yang oleh karena itu selamanya dapat diandalkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi mesyarakat.

Meskipun demikian tidaklah lalu berarti setiap hukum dapat dikesampingkan atau dipinggirkan oleh diskresi Kepoilisian .Tidak semua ketentuan hukum dapat disampingkan atau dipinggirkan oleh Diskresi Kepolisian. Hanya sebagian kecil saja yang dapat disingkirkan atau dikesampingkan, itupun menyangkut perkara perkara yang kecil kecil dan sederhana saja . Perkara perkara yang besar , terutama yang yang berdampak luas terhadap masyarakat tidak dapat disingkirkan oleh Diskresi kepolisian . Kalaupun itu dilakukan sifatnya hanya sementara menunggu situasi memungkinkan , setelah situasinya memungkinkan , maka pelanggaran hukum yang terjadi akan diproses lebih lanjut sesuai ketentuan hukum yang berlaku .

Penyampingan atau peminggiran hukum diatas merupakan salah satu bentuk aplikasi daripada diskresi kepolisian . Bukan hanya itu saja wujud dari diskresi kepolisian yang ada . Diskresi Kepolisian itu dapat juga berwujud dari penerapan hukum itu sendiri (Applicating  the Law ) . Bahkan dapat berupa penciptaan hukum ( Creating the law ) meskipun lingkupnya terbatas dan sifatnnya temporer.Contohnya terhadap pelaku kumpul kebo / semen leven , Walaupun hal tersebut tidak diatur dalam Undang Undang namun sangat dicela oleh masyarakat oleh karena itu polisi dapat meminta kepada pelaku semen leven itu untuk segera menikah  atupun memerintahkan  kedua pelaku untuk pergi dari wilayah tersebut agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan sebagai kompensasi dari kekecewaan dalam masyarakat.

Selain itu , Diskresi Kepolisian itu dapat pula berwujud pengembangan hukum ( Developing the law) dan perekayasaan sosial (Social Engineering ). Karena itulah maka polisi oleh beberapa ahli atau pakar disebut hukum yang hidup, sebab oleh polisi , hukum yang mati dan kaku itu menjadi hidup dan luwes.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Diskresi

Para peneliti telah mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan diskresi. Misalnya dalam melakukan penahanan (suatu aspek penting yang sering diteliti) Black (1980) La Fave (1965), dan Reiss (1971) mencatat bahwa keturunan, umur, jenis kelamin tersangka sangat mempengaruhi keputusan untuk menahan atau membebaskan. Penelitian-penelitian lain memperlihatkan bahwa situasi dan faktor-faktor interactive memainkan peranan besar dalam keputusan Polisi.

Sebagai contoh antara lain kehadiran korban dan kesediaan korban melapor/menuntut, adanya hubungan antara pelaku dan korban sebelum kejadian; apakah korban merupakan pihak yang memprovakasi kejadian tersebut; adanya saksi; apakah kejadian tersebut merupakan hal yang sering terjadi sebelumnya antara kedua pihak; bagaimana sikap pelaku terhadap Polisi; menghargai atau melecehkan.

Suatu studi tentang pelanggaran ketentuan mengemudi sambil mabok (drunk­driving statutes) Meyers (1987) menemukan bahwa kurang lebih sepertiga anggota/Pejabat Polisi di Amerika setidaknya sekali dalam setahun memilih tidak menyetop kendaraan yang patut diduga dikemudikan seorang yang sedang mabuk. Kira-kira seperempat dari Pejabat Polisi tersebut tidak melakukan penahanan walaupun setelah kendaraan distop, diketahui pengemudinya dalam keadaan mabuk.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan diskresi tersebut menurut Maine adalah : !amanya masa dinas anggota, jabatan/pangkat anggota, pandangan anggota tentang kasus tersebut dibandingkan kasus lainnya dan tingkat frustrasi anggota tentang tidak efektifnya sistim peradilan pidana. Dengan demikian bentuk pelanggaran dan keadaan sipelanggar ikut menentukan keputusan Polisi untuk menggunakan diskresi.

Berbagai masalah dalam penggunaan Diskresi

J. Goldstein (1960) mencatat bahwa diskresi yang dilakukan Pejabat Polisi merupakan keputusan-keputusan yang hampir tidak kelihatan. Ini disebabkan adanya diskresi Pejabat Polisi kebanyakan tidak dipahami dan dihargai oleh masyarakat karena tidak diakui oleh para pimpinan clan pejabat-pejabat negara. Penggunaan diskresi oleh anggota juga jarang sekali diamati secara teliti oleh masyarakat, anggota DPR, Pengadilan, clan para pimpinan Kepolisian termasuk para penrvira lapangan. Anggota patroli dan reserse bekerja sendiri atau bersama mitra yang saling mendukung. Seringnya terjadi situasi dimana korban dan pelapor tidak mau memperpanjang urusannya dengan Polisi. Adanya situasi dimana

Pejabat Polisi tidak melakukan penahanan dan tidak membuat laporan atas kejadian tersebut — yang merupakan hal yang sering -terjadi. Situasi diatas menyebabkan penggunaan diskresi tidak dapat dievaluasi. Hal ini berakibat bahwa penggunaan diskresi berpotensi menimbulkan masalah.

“Inkonsistensi”, adalah salah satu masalah yang terkait dengan diskresi. Diskresi membolehkan anggota untuk menerapkan perbedaan dalam men angani suatu peristiwa. Kritik terhadap hal ini adalah kemungkinan terjadinya diskriminasi yaitu dalam situasi yang sama pelanggar diperlakukan berbeda; karena warna kulit atau kedudukannya. Contoh lain adalah perlakuan terhadap wanita yang biasanya lebih lunak daripada terhadap laki-laki.

“Unpredictability” juga merupakan masalah yang dikaitkan dengan diskresi. Variasi penerapan hukum oleh Polisi dapat membingungkan masyarakat, sebagai contoh suatu jalan raya dengan batas.Jcecepatan 55 milefjam dimana pengguna biasa melaju sampai 65 mileAjam tanpa gangguan Polisi sepanjang tidak melampaui 68 milefjam. Pada saat petugas yang biasa bertugas cuti dan diganti anggota lain, timbul masalah karena pada kecepatan 63 milelam para pengguna jalan ditindak oleh anggota pengganti tersebut. Secara resmi mereka ditindak karena pelanggaran Undang-Undang La.u Lintas namun sebenarnya mereka ditindak karena perbedaan standar pribadi antara kedua petugas Polisi.

Diskriminasi dan inkonsistensi dalam penggunaan diskriminasi dikritik atas dasar ketidak adilan. Prinsip kesamaan di depan hukum menyatakan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama bila mereka melakukan perbuatan yang relatif sama. Cohen (1985) menyatakan bahwa keadilan dapat mempunyai arti yang lain yaitu “Just Deserts”. Prinsip Just Deserts menyatakan bahwa untuk diperlakukan adil seseorang harus menerima perlakuan yang wajar/seharusnya bagi mereka, tanpa melihat apakah perlakuan tersebut sama dengan yang lain. Pejabat Polisi dapat menerapkan hal ini secara berbeda kepada orang-orang dalam kasus-kasus tertentu. Menurut Cohen “The problem of discretion is the problem of good judgment”.

Sebagai contoh seorang yang melanggar batas kecepatan karena mangantar orang yang terluka ke RS seharusnya tidak perlu ditindak sedangkan orang lain yang melakukan hal yang sama ditempat yang sama tanpa alasan yang tepat tidak seharusnya dibebaskan dari penindakan. Hal ini yang harus dipahami Pejabat Polisi bilamana seseorang harus ditindak atau tidak ditindak.

“Lack of Accountability” juga merupakan problem dalam penggunaan diskresi. Sebagian anggota beranggapan bahwa diskresi yang mereka punyai adalah tanpa batas. Para pimpinan sangat kawatir bahwa perilaku anggota tidak dapat dikendalikan bila tidak diawasi langsung bahkan kemungkinan menggunakan tindakan-tindakan ilegal dalam bertugas.

Brown (1981) mengamati bagaimana petugas-petugas lapangan/bawahan dalam beberapa hal mempunyai otonomi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan daripada para perwira dan pimpinan.

Otonomi petugas lapangan dipengaruhi berbagai faktor, sebagian besar tugas-­tugas bawahan tidak dapat direncanakan dengan teliti karena sifatnya yang selalu mendadak, seperti mendatangi TKP dan melayani situasi darurat lainnya. Para supervisor jarang dapat melakukan pengawasan langsung atas pelaksanaan tugas patroli tersebut.

Para, reserse dengan pakaian- preman bahkan lebih tidak terlihat oleh para pimpinannya dan juga oleh masyarakat daripada petugas-petugas berseragam sehingga akuntabilitas penggunaan waktu dan penanganan kegiatan lebih sulit dipantau. Sebagai akibatnya dikawatirkan diskresi digunakan sebagai alasan turunnya kinerja. Dilain pihak diskresi akan digunakan untuk maksud negatif dengan imbalan uang. Dalam hal ini Sherman (1978) mengidentifikasi diskresi yang berlebihan sebagai benih tumbuhnya korupsi.

 

Trend Masa Depan

 

Diskresi kelihatannya akan terus menjadi bahan konflik antara atasan clan bawahan. Tekanan-tekanan agar Polisi menangani berbagai masalah secara adil, adanya tuntutan-tuntutan ganti rugi, keinginan untuk meningkatkan produktivitas clan lainnya menyebabkan para pimpinan terus mengupayakan pengurangan penggunaan diskresi. Diskresi merupakan hal yang membingungkan, clan menarik dalam pelaksanaan tugas Polisi. Penggunaan diskresi secara bijaksana merupakan hal, yang menantang secara etik, penggunaannya secara baik akan membolehkan seorang Polisi untuk menindak orang yang dianggapnya perlu ditindak clan melepaskan orang yang dianggapnya tidak perlu ditindak. Dengan menggunakannya anggota dapat mengekspresikan otonominya dalam menghadapi tugas-tugasnya.

Diskresi juga dapat merupakan alasan yang tepat bagi seorang anggota untuk menyembunyikan ketidaktahuannya tentang peraturan perundang-undangan. Para pakar yang mendukung agar Polisi hanya menerima Tamatan Sekolah Tinggi/Sarjana menganggap bahwa latar belakang pendidikan ini akan membuat seorang anggota mempunyai penilaian yang lebih baik dan bijaksana atas situasi yang dihadapi sehingga dapat menggunakan diskresi secara tepat. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa akal sehat dan pengalaman lebih penting dari latar belakang pendidikan dalam penggunaan diskresi.

Sejak 1960 Pejabat Polisi mendapat tekanan untuk meningkatkan kinerja dan pengetahuan mereka untuk menghadapi berbagai masalah kemasyarakatan. Berbagai rencana reformasi pemolisian pada 1990-an – juga lebih melibatkan penggunaan diskresi oleh anggota-Pejabat Polisi secara lebih luas.

Pendekatan “Problem-Solving” (Goldstein, 1977) dimulai dengan kenyataan bahwa Polisi secara berulang-ufang menghadapi masalah yang sama dalam masyarakat tertentu dimana Polisi tidak berhasil secara tuntas mengatasinya sehingga masalah terus berulang.

Pendekatan “Problem Solving” mengharuskan Pejabat Polisi untuk menerapkan strategi dan taktik untuk mengatasi sumber dari masalah yang terus- berulang itu. Anggota diharapkan untuk menerapkan diskresi yang luas untuk menemukan solusi yang permanen terhadap masalah-masalah yang berulang terutama masalah yang tidak memerlukan penegakan hukum.

“Neighborhood response-policing” yang dikembangkan di Boston dan Houston, mengutamakan masukan dari masyarakat sebagai dasar perencanaan operasi kepolisian. Anggota/Pejabat Polisi dan para pimpinannya bertemu dengan masyarakat secara berkala untuk merumuskan prioritas- Kamtibmas untuk lingkungan tersebut. Dengan cara ini masyarakat ikut membatasi diskresi yang dilakukan Polisi berdasar kesepakatan masyarakat.

Para pimpinan Polisi harus menyeimbangkan upaya mereka dalam penggunaan diskresi dengan harapan masyarakat dalam upaya menegakkan hukum. Hal ini meliputi antara lain perilaku anggota yang diskriminatif terhadap berbagai pelanggaran hukum. Sehingga masalah kronis dapat diatasi tetapi harapan masyarakat akan keadilan dapat terpenuhi. (dikutip dari http://krisnaptik.wordpress.com)

0 komentar:

Posting Komentar

SARAN DAN MASUKAN

Mohon komentar, masukan, kritik dan sarannya untuk pengembangan blog ini....Trim's




[nts community]