BRIGADIR POLRI GEL.1 TA.2007

NTS COMMUNITY POLRI 2007. WE ARE ALL ORDINARY. WE ARE ALL SPECTACULAR. WE ARE ALL BOLD. WE ARE ALL HEROES!! TO PROTECT AND TO SERVE... WITH HONOR, SERVICE, HONESTY, KINDNESS, COMPASSION, EMPATHY, SYMPHATY, BRAVERY, JUSTICE, RESPECT, PERSONAL COURAGE, HARD WORK, LOYALTY & INTEGRITY... KEEP UNITY!!!

Senin, 22 September 2014

DIRGAHAYU POLANTAS KE-59 (22 September 1955 - 22 September 2014)

POLISI LALU LINTAS

Dirgahayu Polantas ke-59 (22 September 1955 - 22 September 2014)


Sejarah Polisi Lalu lintas di Indonesia tidak lepas dari sejarah Kepolisian itu sendiri khususnya Polisi secara universal. Karena itu untuk lebih mengenal sejarah Polisi lalu lintas maka seyogyanya kita awali dengan berbagai sejarah Polisi itu sendiri.
Sejarah istilah “polisi” ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda, hal ini pada kenyataanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu negara, bahasa dan sejarah lingkup tugas dan wewenang polisi. Faktor negara dalam hal ini sejarah suatu negara akan berpengaruh dalam pembentukan pengertian istilah “polisi”, tentu saja negara-negara yang dijajah oleh negara lain juga akan terpengaruh terhadap perkembangan/sejarah istilah “polisi” oleh negara yang menjajah. Istilah “polisi” dalam bahasa yang berbeda mempunyai arti yang khusus, sesuai dengan pengertian yang dikehendaki dimana bahasa tersebut yang dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya.
Dalam perkembangannya sejarah istilah “polisi” telah mengalami berbagai perubahan yang diakibatkan terjadinya penyempitan dan pengkhususan tugas dan wewenang institusi polisi. Penyempitan dan pengkhususan tugas-tugas/wewenang polisi dilakukan dalam upaya membatasi tugas dan wewenang polisi yang sangat kompleks dan teramat luas, sehingga tugas dan wewenang polisi sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan masyarakatnya.
Negara Inggris menggunakan istilah Constable yang mengandung 2 (dua) macam arti, yaitu : (1) Police Constable sebagai sebutan untuk pangkat terendah di kalangan kepolisian dan (2) Office Constable yang mengandung arti kantor polisi. Sedangkan Amerika Serikat menggunakan istilah Sheriff yang sebenarnya berasal dari bangunan sosial Inggris. Negara Jerman menggunakan istilah Polizei yang mengandung arti luas yaitu meliputi : (1) Urusan kesejahteraan rakyat (Wohlfahrts Polizei), yang mendekati mengertian pamong praja atau Bestuur, mengusahakan kesejahteraan, keamanan dan penolakan bahaya; dan (2) Urusan keamanan (Sicherheits Polizei) yang mengandung arti polisi keamanan.
Negara Yunani menggunakan istilah Politeia yang mengandung arti luas meliputi seluruh pemerintahan negara kota, termasuk urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Berbeda dengan Yunani, negara Romawi menggunakan istilah Politia yang berarti pemerintahan negara. Di Indonesia istilah Polisi berasal dari proses indonesianisasi dari istilah Belanda Politie. Dalam rangka Catur Praja dari Van Vollenhoven, istilah “polisi” terbagi dalam : Bestuur (eksekutif), Politie (polisi), Rechtspraak (yudikatif), Regeling (legislatif).
Jika merunut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka pengertian Polisi secara umum adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum, sedangkan pengertian polisi lalu lintas adalah polisi yang memelihara keamanan dan keselamatan lalu lintas (KBBI, 2001:886). Untuk lebih mengenal sejarah polisi lalu lintas di Indonesia, maka penulis akan mengupasnya berdasarkan periode waktu sebagai berikut :

A. Jaman Penjajahan
a. Penjajahan Belanda
Perkembangan lalu lintas di Indonesia pada umumnya sangat dipengaruhi oleh perkembangan dunia otomotif secara global. Dunia otomotif sendiri mengalami perkembangan sejak ditemukannya teknologi mobil dan motor yang berkembang di Eropa pada abad ke-19. Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menjajah Indonesia mulai membawa mobil dan sepeda motor masuk ke Indonesia. Mulai munculnya aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor di Indonesia. Ketika mobil dan sepeda motor bertambah banyak Pemerintah Hindia Belanda mulai merasa perlu mengatur penggunaannya. Peraturan pertama di keluarkan pertama kali pada tanggal 11 Nopember 1899 dan dinyatakan berlaku tepat tanggal 1 Januari 1900. Bentuk peraturan ini adalah Reglement (Peraturan Pemerintah) yang disebut Reglement op gebruik van automobilen ( stadblaad 1899 no 301 ). Peraturan ini kemudian diubah pada tahun 1910 yang ditandai dengan dikeluarkannya Motor Reglement (stb 1910 No.73). Peraturan itu sendiri dikeluarkan dikarenakan semakin banyaknya kendaraan bermotor yang masuk ke Indonesia sebagai sarana mobilisasi penjajah Belanda.
Organ kepolisian sendiri telah ada lebih awal sejak jaman VOC, namun baru di pertegas susunannya pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Sanford Raffles, masa pendudukan Inggris. Kala itu, kantor Polisi hanya dibangun pada kota-kota tertentu yang termasuk dalam kategori kota besar seperti Jayakarta, Semarang, dan Surabaya. Untuk mengimbangi perkembangan lalu lintas yang terus meningkat, maka pemerintah Hindia Belanda memandang perlu membentuk wadah Polisi tersendiri yang khusus menangani lalu lintas, sehingga pada tanggal 15 Mei 1915, dengan Surat Keputusan Direktur Pemerintah Dalam Negeri No. 64/a lahirlah satu organ Polisi Lalu Lintas dalam tubuh Polisi Hindia Belanda.
Dalam organ Polisi pada waktu itu ada empat bagian, yaitu bagian sekretaris, bagian serse, bagian pengawas umum dan bagian lalu lintas. Pada mulanya bagian lalu lintas di sebut Voer Wesen, sebagai jiplakan dari bahasa Jerman “Fuhr Wessen” yang berarti pengawasan lalu lintas. Organ ini terus disempurnakan, diberi nama asli dalam bahasa Belanda Verkeespolitie artinya Polisi Lalu Lintas.
Selama penjajahannya Pemerintah Hindia Belanda aktif membuat aturan – aturan mengenai Polisi Lalu Lintas. Pada tanggal 23 Februari 1933 dikeluarkan Undang – undang lalu lintas jalan dengan nama : DE Wegverkeers Ordonantie (stadblaad No68). Undang – undang ini terus disempurnakan tanggal 1 Agustus 1933 (stadblaad No 327). Tanggal 27 Februari 1936 ( stadblaad No 83), tanggal 25 Nopember 1938 ( stadblaad No 657 dan terakhir tanggal 1 Maret 1940 (stadblaad No 72). Peraturan-peraturan tersebut dibuat dan disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda selain bertujuan untuk mengatur ketertiban kendaraan bermotor juga diperuntukkan guna pengembangan jalan dalam kota, jalan antar kota, maupun jalan-jalan lintas lainnya yang berguna bagi akses perpindahan para penjajah.

b. Penjajahan Jepang
Seperti yang kita ketahui, pada perang Asia Timur Raya Belanda dipaksa menyerah pada kekuatan militer Jepang. Demikian pula dengan Indonesia yang kala itu dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda ganti diambil alih oleh kekuasaan Jepang yang lebih mengandalkan kekuatan militer. Begitu pula bidang lalu lintas juga diatur dan dikuasasi dengan cara militer. Dalam organ kepolisian hanya ada organ Kempetai (Polisi Militernya Jepang).
Masa penjajahan Jepang, pengatur jalan raya diambil alih oleh polisi militer, sedangkan Polisi Lalu Lintas tidak nampak dan tidak banyak diketahui perannya ketika itu. Sampai dengan mundurnya penjajah Jepang akibat kekalahannya pada perang melawan sekutu, peranan polisi lalu lintas tidak banyak meninggalkan catatan sejarah di Indonesia.

B. Jaman Kemerdekaan
a. Periode 1945-1950
Kemerdekaan Indonesia sesungguhnya juga tidak terlepas dari peranan para tokoh-tokoh Polisi dijaman tersebut. Tokoh – tokoh Polisi tersebut antara lain R.S. Soekanto dan R. Sumanto. Peranan para tokoh itu pulalah yang mengawali perkembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, utamanya pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan bahwa Polisi termasuk di dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.
Dalam rangka membentuk lembaga kepolisian yang terstruktur dan organisasional Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto Cokrodiatmojo sebagai Kepala Kepolisian Negara RI atas saran dari Iwa Kusumasumantri dan Mr. Sartono. Penunjukan ini dilakukan dalam sidang kabinet pada tanggal 29 September 1945 tanpa sepengetahuan dirinya. Pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara merupakan langkah awal pembentukan kepolisian nasional yang integratif. Hal ini terlihat dari upaya untuk menyatukan satuan-satuan polisi di daerah yang mandiri dan tanpa koordinasi setelah kemerdekaan dalam Kepolisian Negara RI. Sejak peresmiannya, Kepolisian Negara memikul tanggungjawab keamanan yang berat karena tentara nasional belum dibentuk secara resmi.
Pada bulan Februari 1946 Jawatan Kepolisian yang tergabung di dalam Departemen Dalam Negeri memindahkan kantor pusat / kedudukannya di Purwokerto. Karena kesulitan yang dihadapi oleh Jawatan Kepolisian pada waktu itu sedangkan mereka sangat dibutuhkan maka pada tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah No. 11 /SD tahun 1946 Jawatan Kepolisian Negara dipisahkan dari Departemen Dalam Negeri dan menjadi Jawatan sendiri dibawah Perdana Menteri, tanggal ini selanjutnya di jadikan tanggal kelahiran dan dijadikan hari Bhayangkara. Pada periode ini Jawatan Kepolisian Negara, mulai membenahi wadah – wadah, organisasi kepolisian walaupun menghadapi berbagai kendala. Usaha – usaha yang telah dilakukan antara lain:
1) Menyusun suatu Jawatan pusat dengan bagian – bagiannya. Tata Usaha Keuangan, Perlengkapan, Organisasi Pengawasan Aliran Masyarakat dan Pengusutan Kejahatan.
2) Menciptakan peraturan – peraturan mengenai pakaian dinas, tanda pangkat, tata tertib dan tata susila, baris berbaris dan lain – lain.
3) Menyusun kembali Polisi Lalu Lintas, dengan tugas lain yang pada saat dan waktu mendatang diperlukan.

Dasar penyusunan kembali Polisi Lalu Lintas tersebut secara resmi tidak diketahui, namun penyusunan ini mudah disebabkan keadaan lalu lintas yang memang masih belum seramai seperti sekarang ini. Jumlah kendaraan di masa pendudukan Jepang masih sangat sedikit. Sisa kendaraan dari masa pendudukan Jepang yang ditinggal sedikit menjadi semakin berkurang, karena usia dan suku cadang yang tidak tersedia atau sulit mencari gantinya. Pada periode ini masalah lalu lintas belum mendapat perhatian yang sungguh – sungguh. Pada tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Pertahanan Negara melalui aturan No. 112 memasukkan Kepolisian Negara sebagian atau seluruhnya menjadi kesatuan tentara. Polisi dianggap perlu menjadi bagian dari militer dalam rangka mempertahankan negara RI dari rongrongan Belanda. Fungsi ketentaraan ini dijalankan oleh Korps Mobile Brigade yang membantu perjuangan tentara melawan agresi Belanda.
Sesuai Dengan perjanjian KMB, Indonesia diharuskan mengganti sistem ketatanegaraan nya menjadi bentuk federal yang terdiri dari negara-negara bagian maka Republik Indonesia pun berdiri dan UUD 1945 dianggap tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan prinsip negara federal. Wilayah RIS sendiri terdiri atas Negara Republik Indonesia, Negara Indoneisa Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, daerah Jawa Tengah, Daerah Bangka, Belitung, Riau, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, dan daerah Istimewa Kalimantan Barat. Pada tanggal 16 Desember 1949 di Yogyakarta Ir. Soekrano dipilih sebagai Presiden RIS, Moh. Hatta menjadi perdana Menteri, dan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX sebagai Koordinator Keamanan yang memegang kekuasaan tertinggi atas kepolisian dan institusi kemiliteran, sedangkan sebagai wakilnya diangkat Kepala Kepolisian Negara R.S. Soekanto yang menangani tanggung jawab kepolisian.
Meski banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang, usaha-usaha untuk membangun Jawatan kepolisian RIS yang sesuai dengan keppres No. 22 tahun 1950 terus dilakukan. Dalam menghadapi situasi keamanan yang belum stabil, sangat diperlukan sebuah kepolisian yang sentralistik di bidang kebijaksanaan teknis maupun administrasi. Melalaui Penetapan Perdana Menteri No. 3 tanggal 27 Januari 1950 pimpinan kepolisian diserahkan kepada Menteri pertahanan dengan maksud memusatkan pimpinan kepolisian dan ketentaraan dalam satu atap.

b. Periode 1950-1959
Setelah penyerahan kedaulatan Negara R.l tanggal 29 Desember 1949 baru dapat dilanjutkan kembali. Pimpinan Polisi di daerah pendudukan yang dipegang oleh kader – kader Belanda di ganti oleh kader – kader Polisi Indonesia. Hanya dalam mereorganisasi Kepolisian Indonesia dinamakan Jawatan Kepolisian dan pada masa terbentuknya Negara Kesatuan tanggal 17 Agustus 1950 berubah namanya menjadi Jawatan Kepolisian Negara.
Karena kemajuan dan perkembangan masyarakat yang mulai perlu diantisipasi maka organisasi Polisi memerlukan penyesuaian agar dapat mewadahi dan menangani pekerjaan dengan cepat. Untuk itu diperlukan spesialisasi. Sehingga tanggal 9 Januari 1952 dikeluarkan order KKN No.6 / IV / Sek / 52. Tahun 1952 mulai pembentukan kesatuan – kesatuan khusus seperti Polisi Perairan dan Udara serta Polisi Lalu Lintas yang dimasukkan dalam pengurusan bagian organisasi.
Untuk Polisi Lalu Lintas di wilayah Jakarta Raya merupakan bagian tersendiri yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut : (1) Mengurus lalu lintas; (2)Mengurus kecelakaan lalu lintas; (3) Pendaftaran nomor bewijs; (4) Motor Brigade keramaian; dan (5) Komando pos radio dan bengkel.
Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan lalu lintas yang semakin pesat Kepala Jawatan Kepolisian Negara memandang perlu untuk membangun wadah yang konkrit bagi penanganan -penanganan masalah lalu lintas. Oleh karenanya maka pada tanggal 22 September 1955. Kepala Jawatan Kepolisian Negara mengeluarkan Order No 20 / XVI / 1955 tanggal 22 September 1955, tentang Pembentukan Seksi Lalu Lintas Jalan, pada tingkat pusat yang taktis langsung di bawah Kepala Kepolisian Negara. Maka saat itu dikenal istilah lalu lintas jalan untuk pertama kalinya, yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut:
1) Mengumpulkan segala bahan yang bersangkutan dengan urusan lalu lintas jalan.
2) Memelihara / mengadakan peraturan, peringatan dan grafik tentang kecelakaan lalu lintas , jumlah pemakai jalan, pelanggaran lalu lintas jalan.
3) Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan perundang – undangan lalu lintas jalan dan menyiapkan instruksi guna pelaksanaan di berbagai daerah.
4) Melayani sebab – sebab kecelakaan lalu lintas jalan di berbagai tempat di Indonesia, dan menyiapkan instruksi dan petunjuknya guna menurunkan / mengurangi angka kecelakaan lalu lintas.

Tahun 1956, di tiap kantor Polisi Propinsi dibentuk Seksi Lalu Lintas dengan Order Kepala Kepolisian Negara No. 20 / XIII /1956 tanggal 27 Juli 1956 kemudian di kesatuan – kesatuan / kantor -kantor Polisi Karesidenan, selanjutnya pada tingkat Kabupaten di bentuk pula seksi – seksi Lalu lintas dengan berdasar pada Order KKN tersebut.
Pada periode ini telah diadakan beberapa kegiatan untuk perbaikan lalu lintas antara lain menyangkut engineering misalnya:
1) Diperkenalkannya istilah pulau – pulau jalan oleh Komisaris Besar Untung Margono untuk pertama kalinya di Indonesia. Pada pembuatan pulau – pulau ini diadakan kerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum dengan maksud untuk kelancaran lalu lintas.
2) Penegasan kembali pemasangan rambu – rambu lalu lintas yang mulai nampak adanya penyimpangan – penyimpangan, baik bentuk, warna maupun pemasangannya. Untuk itu pemasangan rambu perlu dasar hukum yang kuat karena Indonesia sudah menjadi anggota Convention on Road Traffic.
3) Dimulainya pendidikan lalu lintas pada anak – anak sekolah agar anak – anak sejak kecil sudah kenal dengan masalah – masalah lalu lintas. Maka dibentuklah Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) untuk pertama kali di Jakarta pada tahun 1953 dengan maksud :
a) Menanamkan rasa tanggung jawab akan keselamatan lalu lintas terhadap orang lain dan terhadap umum.
b) Membantu menjaga keamanan lalu lintas dan mengurangi kecelakaan terutama yang melibatkan anak – anak sekolah.
c) Berusaha mewujudkan cita – cita masyarakat yang mempunyai disiplin lalu lintas yan tinggi sopan santun dan berpengetahuan lalu lintas yang luas.

c. Periode 1959-1965
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak hanya berdampak pada berubahnya struktur tata pemerintahan Negara akan tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap perubahan- perubahan struktur dalam organisasi Kepolisian Negara. Perubahan pertama adalah terbentuk nya departemen kepolisian berdasarkan SK. Presiden No. 154/1959 tanggal 15 Juli 1959 berikutnya, berdasarkan SK. Presiden No. 1/MP/RI/1959 sebutan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian namun buka termasuk kedalam menteri anggota kabinet, dalam hal ini yang menjabat adalah R.S. Soekanto.
Pada tanggal 23 Oktober 1959 dengan peraturan sementara dari Menteri / KKN di keluarkan peraturan sementara Menteri /KKN No. 2.PRA/MK/1959 tentang Susunan dan Tugas Markas Besar Polisi Negara. Dengan berdasar pada peraturan ini status Seksi Lalu Lintas Jalan di perluas menjadi Dinas Lalu Lintas dan Polisi Negara Urusan Kereta Api (PNUK). Tugas – tugas lainnya antara lain :
1) Mengatur pemberian jaminan bantuan kepada instansi – instansi yang membutuhkan bantuan Polisi bagi kelancaran dan keamanan lalu lintas daratan.
2) Kedua mengatur pelaksanaan pemeliharaan kelancaran dan keamanan lalu lintas di daratan termasuk Kereta Api.
3) Memberi nasehat dan saran – saran mengenai soal – soal lalu lintas di daratan kepada instansi – instansi yang membutuhkan.
Untuk membantu Menteri Muda kepolisian dibentuklah lembaga Direktorat Jenderal yang dipegang oleh seorang direktur. Kebijakan lainnya adalah mengubah wewenang kepengurusan bidang keuangan yang semula di bawah Perdana Menteri ke Menteri Muda Kepolisian Negara. Status kepolisian baru jelas ketika ditetapkan- nya ketetapan MPRS No. II/ MPRS/ 1960 yang menyatakan Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata dan ketetapan tersebut dipertegas dengan penetapan DPR-GR tanggal 19 Juni 1961 tentang Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13/1961 yang tertuang dalam pasal 3 dalam undang-undang tersebut dijelas- kan bahwa kepolisian negara adalah Angkatan Bersenjata.
Kepala Dinas Lalu Lintas / PNUK adalah Ajun Komisaris Besar Polisi Untung Margono yang menggantikan Komisaris Besar Polisi H.S Djajoesman. Setelah pergantian pimpinan Polisi dari Menteri Muda Kepolisian R.S. Soekanto oleh Sukarno Djoyo Negoro mantan Kepala Kepolisian Jawa Timur, kemudian disusul reorganisasi kepolisian yaitu tentang susunan dan tugas kepolisian tingkat departemen.
Dalam reorganisasi ini Dinas Lalu Lintas / PNUK dimasukkan dalam Korps Polisi Tugas Umum termasuk didalamnya Perintis Polisi Wanita dan Polisi Umum, tanpa mengurangi tugas – tugas Dinas Lalu Lintas sebelumnya :
1) Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Sementara JM Menteri/KSAK tanggal 31 Desember 1961.
2) Tanggal 23 Nopember 1962 dikeluarkan pula peraturan JM Menteri/KSK No. 2.PRT/KK/62 dibentuk kembali Dinas Lalu Lintas, yang terpisah dari Polisi tugas Umum, sedangkan PNUK tetap dimasukkan dalam jajaran Polisi Tugas Umum.
3) Tanggal 14 Februari 1964 dengan Surat Keputusan JM MEN PANGAK No. Pol.:11/SK/MK/64 Dinas Lalu Lintas diperluas kembali statusnya menjadi Direktorat Lalu Lintas. Dengan Surat Keputusan ini maka untuk pertama kali reorganisasi kepolisian bidang lalu lintas menggunakan nama Direktorat Lalu Lintas di tingkat pusat.

Undang-undang Kepolisian yang lahir pada kala itu memang merupakan bentuk tonggak sejarah dalam perkembangan Kepolisian modern di Indonesia, namun karena dalam penjelasan undang- undang tersebut dikatakan bahwa status kepolisian terletak diantara sipil dan militer maka integrasi kepolisian ke dalam ABRI menjadi setengah-setengah. Baru pada tahun 1964 berdasarkan Keppres No. 290 tahun 1964 yang disempurnakan lagi pada tanggal 23 Juli 1965 angkatan Kepolisian diintegrasikan dengan unsur-unsur ABRI lainnya yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sehingga kedudukan hukum, personel, material, keuangan, organisasi, administrasi, dan perawatan angkatan kepolisian diatur secara umum dan terintegrasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, bekerja sama dengan Departemen Perhubungan Darat dan Direktorat Pendidikan dan Latihan telah dirintis pendidikan kejuruan kader-kader Polantas. Kelanjutan dari kerja sama ini adalah, dikirimnya beberapa Perwira Polisi ke Amerika yaitu Northwestern University Of Traffic Institute (NUTI) dan California High Way Patrol di Sacrament (USA) untuk memperluas pengetahuannya di bidang lalu lintas. Dengan kembalinya para perwira yang mengikuti tugas belajar di Amerika, mulailah dirintis untuk pertama kalinya pendidikan Bintara Patroli Jalan Raya (PJR) di Sukabumi tahun 1962 yang diikuti oleh 40 siswa Polisi Lalu Lintas Komisaris di P. Jawa dan Bali. Dan mulai pula Kesatuan Lalu Lintas mengembangkan sayapnya guna memenuhi tuntutan jaman dengan membentuk kesatuan-kesatuan PJR.
Pembentukan kesatuan memerlukan perlengkapan yang cukup, dan hal ini dipenuhi dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat seperti kendaraan bermotor (Jeep dan sedan Falcon dan Chevy) serta alat-alat komunikasi radio (motorola), sepeda motor Harley Davidson. Adanya kesatuan PJR didalam tubuh Polri/ Polantas, merupakan suatu organ baru yang sangat menunjang dan sangat diperlukan, baik untuk keamanan, dan penegakan hukum serta penyidikan kecelakaan lalu lintas, tugas-tugas tindakan pertama pada kejahatan maupun bantuan taktis dapat dilaksanakan.
Karena Perkembangan situasi politik, hubungan diplomatik Indonesia dengan Amerika Serikat mulai memburuk kemudian Polri lepas hubungan dengan Amerika Serikat, sehingga bantuan terputus. Bidang pendidikan masyarakat lalu lintas mulai dikembangkan, Polisi Lalu Lintas mulai membuat majalah, mengenalkan cara berlalu lintas pada pramuka dan membentuk Patroli Keamanan Sekolah (PKS). Karena kecelakaan lalu lintas sudah mulai menjadi masalah, Polisi Lalu Lintas mulai mengadakan penerangan-penerangan kepada masyarakat tentang tata cara berlalu lintas yang baik dan benar.
Pada periode ini mulai muncul usaha yang kuat untuk menyusun Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan untuk menggantikan VWO tahun 1933 peninggalan Belanda. Tahun 1965 berhasil menyusun Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya No. 3Tahun 1965. Kegiatan-kegiatan Polantas terus dikembangkan, tugas operasional Polisi Lalu Lintas tidak terbatas hanya berkaitan dengan lalu lintas saja, tetapi juga yang berkaitan dengan fungsi lain seperti ikut membantu penindakan terhadap kejahatan, penculikan, kebakaran dan lain-lain. Disamping itu dalam setiap penyelenggaraan kegiatan yang bersifat internasional di Indonesia Polisi Lalu Lintas selalu berperan aktif.

d. Periode 1965-1998
Munculnya gerakan G 30 S/PKI pada tanggal 30 September 1965 menuntut segenap alat negara untuk bersatu dengan kokoh, meskipun cukup alot, integrasi Polri ke tubuh ABRI akhirnya dapat berlangsung. Keterpaduan ABRI dan Polisi diharapkan menjadi kekuatan Hankam yang tangguh untuk menghalau setiap pemberontakan dan pengacau yang mengancam keamanan negara dan bangsa Indonesia.
Integrasi ABRI dengan Polri di kongkritkan dengan Keppres no. 79/1969 yang berisi Pembagian dan Penentuan Fungsi Hankam. Meskipun berbeda dengan angkatan perang yang terdiri dari AD, AU dan AL tetapi Polri menjadi bagian dari Departemen Hankam.
Dengan Keppres tersebut Polri kembali mengadakan penyesuaian-penyesuaian dan perubahan-perubahan dalam tubuh organisasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Demikian halnya di kesatuan Polisi Lalu Lintas. Untuk menyusun organisasi kepolisian maka dikeluarkan Surat keputusan Men Hankam Pangab No. Kep. A./385A/1111970 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara R.l. Sebagai penjabarannya dikeluarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol. 113/SK/1970 tanggal 17 September 1970 tentang Organisasi Staf Umum dan Staf Khusus dan Badan-badan pelaksana Polri, maka lahirlah organisasi baru di lingkungan Polri.
Demikian juga di kalangan Polisi Lalu Lintas Pusat. Dua tahun sebelum surat keputusan ini (tahun 1968) di tingkat pusat dibentuk Pusat Kesatuan Operasi Lalu Lintas (Pusatop Lantas), dengan komandannya KBP Drs. U.E. Medelu. Dengan keluarnya SK tersebut berubah kembali menjadi Direktorat Lalu Lintas tahun 1970, yang merupakan salah satu unsur Komando Utama Samapta Polri, sehingga kemudian disebut Direktorat Lalu Lintas Komapta.
Pada periode ini dibentuk Patroli Jalan Raya (PJR) oleh Mabes Polri, meski sebenarnya pembentukan Patroli Jalan Raya sudah dilakukan di Kepolisian Daerah, namun baru tahun 1966 dibentuk secara resmi berdasarkan instruksi Men Pangab No. 31/lnstr/MK/1966. Pembentukan Kesatuan PJR ini memang didasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Dalam pelaksanaan tugasnya anggota PJR dituntut untuk selalu siaga dan berpedoman kepada motto courtesy, protection, and service (ramah tamah perlindungan dan pelayanan). Detasemen PJR ini dipimpin oleh seorang komandan yang ditunjuk oleh Direktur Lalu Lintas dibawah pengawasan Kepala Dinas Pengawasan Direktorat Lalu Lintas.
Permasalahan lalu lintas mulai terasa meningkat ditandai meningkatnya frekwensi pelanggaran lalu lintas. Nampaknya masalah ini cukup merisaukan, terlebih para aparat penegak hukum. Dipandang dari segi sarana penindakan tampak memang kurang efektif. Tahun 1969 dibentuk team untuk merumuskan sistem penindakan pelanggaran lalu lintas yang praktis dan cepat.
Pada tanggal 11 Januari 1971 lahir Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung No. 001/KMA/71, Jaksa Agung No. 002/DA/1971, Kepala Kepolisian R.l No. 4/SK/Kapolri/71 dan Menteri Kehakiman No. JS/1/21 yang mengesahkan berlakunya Sistem Tilang untuk pelanggaran lalu lintas. Dari Pihak Polri Tim perumus diwakili oleh Jenderal Memet Tanu Miharja, Brigjen Pol. Drs. VE. Madelu, Letkol Pol Drs. Basirun. Mulai tahun 1971 mulailah pelanggaran lalu lintas ditindak dengan tiket system yang dikenal dengan bukti pelanggaran disingkat tilang. Tanggal 29 Maret 1969 didirikan Pusat Pendidikan Lalu Lintas (Pusdik Lantas) yang berkedudukan di jalan MT. Haryono Jakarta Selatan, masih satu kantor dengan Direktorat Lalu Lintas Polri. Kemudian pada tahun 1985 dipindahkan ke Serpong Tangerang Jawa Barat sampai saat ini sejak tahun 1969 pendidikan lalu lintas untuk Perwira dan Bintara Lalu Lintas dapat dilaksanakan secara teratur.
Berdasarkan Surat Keputusan Men Hankam No. Kep/15/IV/1976 tanggal 13 April 1976, Skep Kapolri No. Pol. Skep/507V111/1977, dan Skep Kapolri No. Pol. Skep/53/VII/1977 di tingkat Mabak terdapat dua unsur lalu lintas. Pertama ; Dinas Lalu Lintas Polri yang berkedudukan sebagai Badan Pelaksana Pusat dibawah yang sehari-harinya dikoordinasi oleh Deputy Kapolri dengan tugas pokok membantu Kapolri untuk menyelenggarakan segala kegiatan dan pekerjaan di bidang pencegahan, penanggulangan terhadap terjadinya gangguan/ancaman terhadap Kamtibmas di bidang Lantas dan menindak apabila diperlukan dalam rangka kegiatan atau operasional Kepolisian, Kedua : pusat system senjata Lalu Lintas Polri yang berkedudukan dibawah Danjen Kobang Diklat Polri dengan tugas pokok menyelenggarakan segala usaha kegiatan mengenai pengembangan taktik dan teknik system senjata serta pendidikan latihan di bidang fungsi teknis lalu lintas Polri dalam rangka system Kamtibmas, serta tugas lain yang dibebankan padanya. Pusdik lantas kedudukannya dibawah Pusenlantas sebagai penyelenggara pendidikan. Dan secara organisatoris terpisah dari Dinas Lalu Lintas.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Pangab No.Kep/11/P/III/1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara R.l, dan Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/09/X/1984 tanggal 30 Oktober 1984, Pusdik lantas kembali berada di bawah Direktorat Pendidikan Polri.
Pada tahun 1984 dengan Surat keputusan Pangab No. Kep/11/P/ll 1/1984 tanggal 31 Maret 1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian R.l, Dinas Lalu Lintas Polri dirubah dan diperkecil struktur organisasinya menjadi Sub Direktorat Lalu Lintas Polri di bawah Direktorat Samapta Polri bersama-sama dengan Subdirektorat Polisi Perairan, Polisi Udara dan Satwa Polri. Pada tahun 1991 tepatnya tanggal 21 Nopember 1991 Subdirektorat Lalu Lintas dikembangkan kembali organisasinya menjadi Direktorat Lalu Lintas Polri berkedudukan di bawah Kapolri yang sehari-harinya dikoordinasikan oleh Deputi Operasi Kapolri.

e. Periode 1998-sekarang
Pada waktu terjadi demonstrasi dan kekacauan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia pada medio 1998, Polisi Lalu Lintas tetap aktif mengendalikan arus lalu lintas dalam melaksanakan tugas dibidang lalu lintas lainnya dengan penuh semangat, walaupun gelombang demonstrasi panjang cukup melelahkan Polisi Lalu Lintas tetap mewujudkan Kamtibcar Lantas. Seiring dengan tuntutan demokratisasi dan supremasi hukum maka ditahun 1999 kedudukan Polri dipisahkan dari bagian ABRI menjadi di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dengan terbitnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : VI/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Nomor : VII/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Peran Tentara Nasional Republik Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kedudukan Polri yang mandiri dan berada langsung di bawah Presiden RI ditandai dengan lahirnya Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada tahun 2004 merupakan salah satu tonggak sejarah yang menunjukkan eksistensi Polantas yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2004 tentang Penetapan Tarif PNBP yang berlaku dilingkungan Polri dimana 7 kewenangan yang diatur dalam PP tersebut 6 kewenangan milik Polantas.
Dengan terbitnya PP No 31 Tahun 2004 sebagai pelaksanaan dari Undang – undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak menghilangkan kesan Duplikasi tugas Pokok Polisi Lalu Lintas dengan Departemen Perhubungan, yaitu dimana Peran Polisi Lalu Lintas berada dalam tataran Keamanan Dalam Negeri melalui Registrasi dan Identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi yang merupakan ciri khas dari tugas – tugas Polisi secara Universal selaku aparat penegak hukum menggunakan Identifikasi dalam upaya pembuktian bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, sedangkan Peran Departemen Perhubungan berada dalam tataran Regulator Transportasi Nasional. Dengan pemberlakuan PP ini pula merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh fungsi teknis Polisi Lalu Lintas yaitu dapat memberi masukan kepada kas negara melalui biaya administrasi yang dipungut atas pelayanan Polri kepada masyarakat berdasarkan tarif yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah tersebut.

Polisi Lalu Lintas Dimasa Mendatang
Pada jaman dahulu tidak ada lampu trafick light (lampu merah, kuning, hijau di perempatan jalan). Untuk mengatur lalu lintas di perempatan jalan, Polisi berdiri di tengah-tengah perempatan sambil memutar secara manual kode berjalan dan berhenti seperti gambar di samping.
Benda berbentuk kotak pada ujung tiang tersebut bertulis “Berjalan” dan “Berhenti”. Polisi di bawahnya memutar bergiliran kode tersebut melalui tuas yang ada di bawahnya secara manual untuk mengatur lalu lintas. Sebuah payung sekedarnya, sedikit membantu untuk menghindari panas dan rintikan hujan. Pekerjaan tersebut memerlukan dedikasi, ketanggapan dan kejelian. Bagi mereka, menjadi petugas dalam mengamankan arus lalu lintas, merupakan sebuah kebanggaan yang dijalankan secara ikhlas. Dari sini kita bisa membayangkan betapa mulianya amal perbutan tersebut.
Jaman terus berganti, kini rambu-rambu lalu lintas di perempatan jalan bekerja secara otomatis dengan adanya lampu trafick light. Meskipun begitu, nilai jaman dahulu tidak jauh berbeda dengan jaman sekarang, Polisi masih diperlukan di perempatan jalan untuk mengatur lalu lintas dan masyarakatnya. Meskipun sekarang Polantas di perempatan bekerja lebih mudah, akan tetapi semangat pengabdian yang ikhlas pada jaman dulu harus tetap bersemi pada setiap anggota Polisi pada setiap masanya baik dulu, kini dan yang akan datang. Sehingga mereka sadar, bahwa ini merupakan pekerjaan yang mulia dan bernilai pahala di sisi-Nya apabila dikerjakan dengan tulus ikhlas.
Perkembangan dan kemajuan dibidang lalu lintas khususnya transportasi darat yang demikian pesat, telah berdampak menurunnya kualitas Kamtibcar Lantas dijalan, sebagai akibat digunakannya jalan sebagai sarana penunjang mobilitas masyarakat sehingga tidak sesuai dengan fungsi jalan tersebut termasuk di dalamnya penyimpangan terhadap fungsi jalan. Hal ini juga akibat dari berkembangnya tingkat kehidupan masyarakat serta perubahan-perubahan yang terjadi sesuai dengan perkembangan jaman sehingga hal ini dapat menimbulkan berbagai jenis ancaman Kamtibcar lantas bagi pemakai jalan.
Menghadapi ancaman Kamtibcar lantas tersebut, maka aparat penegak hukum dalam hal ini Polri bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan yang optimal sehingga mampu menanggulangi ancaman kamtibcar lantas terutama di kota-kota besar, pentingnya sarana jalan dikota besar mendapat prioritas dalam penanggulagan ancaman Kamtibcar Lantas, dikarenakan perkotaan mempunyai nilai strategis dan ekonomis sebagai pusat pemerintahan dan bisnis sehingga berpengaruh terhadap kelancaran dan keberhasilan pembangunan daerah maupun Pembangunan Nasional disegala sektor.
Mengantisipasi timbulnya ancaman kamtibcar lantas di kota besar yang nampak trend perkembangannya dimasa mendatang akan terus meningkat dan bertambah kompleks, maka pimpinan Polri menetapkan kebijaksanaan bahwa fungsi Kepolisian di bidang lalu lintas merupakan salah satu aspek dari Core business Polri. Konsekwensi dari kebijaksanaan tersebut maka seluruh jajaran Polisi Lalu Lintas (Polantas) sebagai pengemban fungsi lalu lintas harus mampu menunjukkan hasil tugasnya, sesuai tugas pokok, fungsi dan perannya.
Masalah lalu lintas sangat berkaitan erat dengan berbagai masalah yang mencakup ke berbagai aspek kehidupan, keterkaitan itu dapat lebih jelas terlihat apabila perhatian lebih dipusatkan pada salah satu segi, misalnya dalam hal penanggulangan kemacetan lalu lintas sehingga masalah kemacetan ini menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.
Mengatasi masalah kemacetan lalu lintas, tidak mungkin dapat dilakukan secara mendadak atau hanya melalui salah satu bentuk upaya kegiatan saja, misalnya tindakan tegas kepada semua pelanggar aturan lalu lintas, baik dalam bentuk operasi Kepolisian, maupun kegiatan rutin dengan sasaran pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan Lalu Lintas seperti yang diatur dalam pasal-pasal tilang yang kita kenal selama ini.


Selamat HUT POLANTAS.
22 September 1955 – 22 September 2014


***

0 komentar:

Posting Komentar

SARAN DAN MASUKAN

Mohon komentar, masukan, kritik dan sarannya untuk pengembangan blog ini....Trim's




[nts community]