Kesenggajaan Dan Kealpaan Dalam Hukum Pidana
Telah disebutkan dalam
pembahasan sebelumnya bahwa kesalahan dalam arti yang luas meliputi :
- Kesengajaan.
- Kelalaian/ kealpaan (culpa).
- Dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiganya
merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan. Dibawah ini akan dibahas mengenai
masalah kesenggajaan dan kealpaan.
1. Kesenggajaan
Seperti yang telah disebutkan
diatas bahwa kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari
kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat
terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa).
Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya
kesenggajaan daripada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu,
jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal
jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya
penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain
sebagainya.
Lalu apa itu yang disebut
dengan kesenggajaan? KUHP kita tidak memberi definisi mengenai hal tersebut.
Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas ditentukan:
“Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka
dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.
Petunjuk untuk dapat
mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van
Toelichting), yaitu “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada
barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan
diketahui”. Dalam pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai
: “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang
yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta
menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan,
bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang
melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu
mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan
timbul daripadanya.
a. Teori-Teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin
orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi “menghendaki dan mengetahui”
itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut 2 (dua) teori
sebagai berikut:
1). Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah
kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons
dan Zevenbergen).
2). Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya
akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat
membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau
dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan
berbuat (Frank).
Terhadap perbuatan yang dilakukan si pelaku kedua
teori itu tak ada menunjukkan perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam
kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya,
kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah hanya dalam peristilahannya saja.
b. Bentuk atau Corak Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan
sengaja dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan
tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut:
- Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus).
Dalam
hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
- Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn).
Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun
akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan, contoh
Kasus Thomas van Bremenhaven.
- Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet).
Dalam hal ini keadaan tertentu yang semula mungkin
terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh: meracuni seorang bapak, yang kena
anaknya.
c. Sifat Kesengajaan
Kesenggajaan memiliki 2 (dua)
sifat, yaitu:
1). Kesenggajaan berwarna (gekleurd)
Sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan
melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya
melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin
si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini
berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat. Jadi menurut
pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa si pelaku
menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen,
yang mengatakan bahwa:
“Kesengajaan senantiasa
ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan
tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.”
Untuk adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa
pada si pelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/ atau dapat
dipidana.
2). Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos)
Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna,
maka itu berarti bahwa untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pelaku itu
menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya
terlarang/ sifat melawan hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan
sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau
bertentangan dengan hukum.
Di Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak
berwarna karena di Indonesia menganut doktrin fiksi hukum (seseorang dianggap
mengetahui hukum yang ada).
d. Macam Kesenggajaan
Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesenggajaan (dolus)
mengenal berbagai macam kesenggajaan, antara lain:
- Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
- Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
- Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.
- Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan orang.
- Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
- Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya.
- Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini).
2. Kealpaan (culpa)
Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah
satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya
dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah
kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat
yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya.
Di sinilah juga letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan
bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).
Perkataan culpa dalam arti luas berarti
kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang
berupa kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah
bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau
barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya
dan tidak dapat diperbaiki lagi. Oleh karena itu, undang-undang juga bertindak
terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor), dan pendek kata schuld
(kealpaan yang menyebabkan keadaan seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu
tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan
karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari
mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak
tersebut mati.
Pengertian kealpaan secara
letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan berbagai referensi yang kami kumpulan
dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih mudah dalam memahami tentang “kealpaan”
ada baiknya dikemukakan dalam bentuk contoh simpel seperti tidak memadamkan api
rokok yang dibuangnya dalam rumah yang terbuat dari jerami, sehingga membuat
terjadinya kebakaran. Tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali,
sehingga ada orang yang terjatuh ke dalamnya, dsb.
Dalam M.v.T (Memorie van
Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku
terdapat:
- Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
- Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
- Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.
Bentuk-Bentuk Kealpaan
Pada umumnya, kealpaan
dibedakan atas:
1). Kealpaan yang disadari (bewuste
schuld)
Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang
dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa
akibatnya tidak akan terjadi
2). Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste
schuld).
Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang
tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya
ia dapat menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang
disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari.
Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah
terjadi akibat yang sangat berat. Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang
disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan
(yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi
perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian yang
normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk
begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus
disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.
0 komentar:
Posting Komentar