Pada dasarnya, Kepolisian
Negara Republik Indonesia (“Polri”) bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib
dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam Pasal
4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU
2/2002”).
Polri merupakan alat
negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5
ayat [1] UU 2/2002). Sehubungan dengan lalu lintas jalan, dalam Pasal
14 ayat (1) huruf b UU 2/2002 ditegaskan bahwa Polri bertugas
menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas di jalan.
Mengenai aturan disiplin
Polri terdapat dalam peraturan pelaksana UU 2/2002 yaitu Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia(“PP
2/2003”).
Menurut Pasal 4
huruf f PP 2/2003, anggota Polri wajib menaati segala peraturan
perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. Yang berarti bahwa
Polri dalam menjalankan tugasnya harus menaati peraturan perundang-undangan
yang salah satunya adalah UU 2/2002.
Berdasarkan Pasal
7 PP 2/2003, anggota Polri yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan
Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa
tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin.
Tindakan disiplin berupa
teguran lisan dan/atau tindakan fisik (Pasal 8 ayat [1] PP 2/2003).
Tindakan disiplin tersebut tidak menghapus kewenangan Atasan yang berhak
menghukum (Ankum) untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin (Pasal 8 ayat [2] PP
2/2003).
Mengenai hal ini, Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mengatur hal serupa
sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 huruf b Perkapolri 14/2011.
Dikatakan bahwa setiap anggota Polri wajib menjaga keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib
dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
Berdasarkan Pasal
20 Perkapolri 14/2011, jika ada anggota Polri yang diduga melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban dan/atau larangan dalam Pasal 6 sampai dengan
Pasal 16 Perkapolri 14/2011, maka orang tersebut akan dinyatakan sebagai
Terduga Pelanggar. Terduga Pelanggar akan dinyatakan sebagai Pelanggar setelah
dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan putusan melalui sidang Komisi Kode Etik
Polri.
Terhadap anggota Polri
yang dinyatakan sebagai Pelanggar, dapat dikenakan sanksi berupa (lihat Pasal
21 Perkapolri 14/2011):
a. perilaku Pelanggar
dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b. kewajiban Pelanggar untuk
meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada
pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
c. kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental
kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1
(satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
d. dipindahtugaskan ke
jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
e. dipindahtugaskan ke
fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
f. dipindahtugaskan ke
wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
dan/atau
g. PTDH sebagai anggota
Polri.
Diskresi Polri
Pada sisi lain, perlu
diketahui bahwa Polri mempunyai diskresi sebagaimana terdapat dalam Pasal
18 ayat (1) UU 2/2002:
“Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.”
Dengan syarat yang
terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) UU 2/2002yaitu bahwa hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Bertindak dengan penilaian sendiri ini disebut sebagai diskresi.
Jadi, ada kemungkinan
walaupun lampu lalu lintas menyala merah, polisi dapat tetap memberikan
kesempatan kepada mobil-mobil dari arah tersebut untuk tetap jalan. Hal ini
dinamakan Pengaturan Lalu Lintas Dalam Keadaan Tertentu, sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2012
tentang Pengaturan Lalu Lintas dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan Jalan
Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas (“Perkapolri 10/2012”):
“Pengaturan Lalu Lintas Dalam Keadaan Tertentu adalah tindakan
petugas dalam hal mengatur lalu lintas di jalan dengan menggunakan gerakan
tangan, isyarat bunyi, isyarat cahaya dan alat bantu lainnya dalam keadaan tertentu.”
Namun, menurut Pasal
4 ayat (1) huruf g Perkapolri 10/2012,pengaturan lalu lintas dalam keadaan
tertentu dilakukan pada saat sistem lalu lintas tidak berfungsi untuk
Kelancaran Lalu Lintas yang disebabkan antara lain oleh karena terjadi keadaan
darurat seperti:
a. perubahan lalu lintas
secara tiba-tiba atau situasional;
b. adanya pengguna jalan
yang diprioritaskan;
c. adanya pekerjaan jalan;
d. adanya kecelakaan lalu
lintas;
e. adanya aktivitas perayaan
hari-hari nasional antara lain peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik
Indonesia, hari ulang tahun suatu kota, dan hari-hari nasional lainnya;
f. adanya kegiatan olahraga,
konferensi berskala nasional maupun internasional;
g. terjadi keadaan darurat
antara lain kerusuhan massa, demonstrasi, bencana alam, dan kebakaran; dan
h. adanya penggunaan jalan
selain untuk kegiatan Lalu Lintas.
Dalam keadaan-keadaan
darurat tersebut, akan ada tindakan pengaturan lalu lintas yang meliputi (Pasal
4 ayat [2] Perkapolri 10/2012):
a. memberhentikan arus lalu
lintas dan/atau pengguna jalan;
b. mengatur pengguna jalan
untuk terus jalan;
c. mempercepat arus lalu
lintas;
d. memperlambat arus lalu
lintas;
e. mengalihkan arus lalu
lintas; dan/atau
f. menutup dan membuka arus
lalu lintas.
Jadi, walaupun pada
dasarnya Polri tidak boleh membiarkan pengendara menerobos saat lampu lalu
lintas menyala merah, tetapi ada beberapa keadaan tertentu yang membuat Polri
dapat mengatur pengguna jalan untuk terus jalan walaupun lampu lalu lintas
menyala merah. Meski demikian, tindakan tersebut dilakukan pada saat sistem
lalu lintas tidak berfungsi untuk kelancaran lalu lintas yang antara lain
disebabkan keadaan-keadaan yang sifatnya darurat.
Dasar Hukum:
3. Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. Peraturan Kapolri No. 10
Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan
Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas.
0 komentar:
Posting Komentar