KISAH SEORANG POLISI YANG MENILANG SAHABAT
KARIBNYA
Dari kejauhan, lampu
lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jono segera menekan pedal
gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ
cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan
di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar berharap
semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah
menyala.Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya
kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.
Di seberang jalan seorang
polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jono menepikan kendaraan agak
menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi
itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Jono agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Jon.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru.
Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?”
Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.
Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Jono agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Jon.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru.
Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?”
Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.
“Bob, hari ini istriku
ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku
tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
Oooo, sepertinya tidak
sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.
“Jadi, kamu hendak
menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat
lampu kuning masih menyala.”
Aha, terkadang berdusta
sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo dong Jon. Kami
melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu.”
Dengan ketus Jono
menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya.
Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi
mengetuk kaca jendela. Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa.Dibukanya
kaca jendela itu sedikit.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.
“Halo Jono, Tahukah kamu
Jon, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal
tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum
penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga
anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus
berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat
kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya.
Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan.
Berhati-hatilah. (Salam, Bobi)”.
Jono terhenyak. Ia segera
keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun, Bobi sudah meninggalkan pos jaganya
entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak
menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan… ….
Tak selamanya pengertian
kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih
dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh
hati-hati
KISAH
POLISI YANG INSPIRATIF, BERANI MENILANG SRI SULTAN HB IX
Kota batik Pekalongan di
pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis , pukul setengah
enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan
pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi
posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan
pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat
brigadir.
Becak dan delman amat dominan masa
itu , persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk
angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke
barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan
arus becak dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan ,sementara
sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang
jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut
Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun
lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi , brigadir
Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
“Selamat pagi!” Brigadir Royadin
memberi hormat dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta
surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca ,
jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan , pria berusia sekitar
setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.
“Ada apa pak polisi ?” Tanya pria
itu. Brigadir Royadin tersentak kaget , ia mengenali siapa pria itu . “Ya
Allah…sinuwun!” kejutnya dalam hati . Gugup bukan main namun itu hanya
berlangsung sedetik , naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap
sempurna.
“Bapak melangar verbodden , tidak
boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah
Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir , orang
sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang
jauhnya cukup lumayan., entah tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes , Brigadir
Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di
ujung jalan , namun sultan menolak.
“ Ya ..saya salah , kamu benar , saya
pasti salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin
yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
“ Jadi…?” Sinuwun bertanya ,
pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .
“Em..emm ..bapak saya tilang ,
mohon maaf!” Brigadir Royadin heran , sinuwun tak kunjung menggunakan
kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu ,
mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak
melakukannya.
“Baik.. brigadir, kamu buatkan
surat itu , nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal !” Sinuwun
meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan
bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu
tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar
kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit
tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan
bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu
gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan ,
rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum
sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
Beberapa menit sinuwun melintas di
depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya
dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar
Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan
hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur
dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan
kembali ke markas , Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses
hukum lebih lanjut.,Ialu kembali kerumah dengan sepeda abu abu tuanya.
Saat apel pagi esok harinya ,
suara amarah meledak di markas polisi pekalongan , nama Royadin diteriakkan
berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh
menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.
“Royadin , apa yang kamu lakukan
..sa’enake dewe ..ora mikir ..iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur!”
Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa , ditangannya rebuwes milik sinuwun
pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.
“ Sekarang aku mau Tanya , kenapa
kamu tidak lepas saja sinuwun..biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia , ngerti
nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.
“ Siap pak , beliau tidak bilang
beliau itu siapa , beliau ngaku salah ..dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab
tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti
siapa dia ..ojo kaku kaku , kok malah mbok tilang..ngawur ..jan ngawur….Ini
bisa panjang , bisa sampai Menteri !” Derai komisaris. Saat itu kepala polisi
dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah , apapun
yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi , yang disumpah untuk
menegakkan peraturan pada siapa saja ..memang Koppeg(keras kepala)
kedengarannya.
Kepala polisi pekalongan berusaha
mencari tahu dimana gerangan sinuwun , masih di Tegalkah atau tempat lain?
Tujuannya cuma satu , mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang
demikian mudahnya bertukar kabar , keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui
hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa
petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir
Royadin.
Usai mendapat marah , Brigadir
Royadin bertugas seperti biasa , satu minggu setelah kejadian penilangan,
banyak teman temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya
akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.
Suatu sore , saat belum habis jam
dinas , seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang
memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi
menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.
“Royadin….minggu depan kamu
diminta pindah !” lemas tubuh Royadin , ia membayangkan harus menempuh jalan
menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari , karena mutasi ini, karena
ketegasan sikapnya dipersimpangan soko .
“ Siap pak !” Royadin menjawab
datar.
“Bersama keluargamu semua,
dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan , untuk apa bawa keluarga ketepi
pekalongan selatan , ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai
sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir
Royadin menawar.
“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda
pekalongan – Jogja ? pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun yang minta
kamu pindah tugas kesana , pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak
komisaris , disodorkan surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan
bertuliskan tangan yang intinya : “ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja
, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya
di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk
menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani sri sultan hamengkubuwono
IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar ,
namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permntaan orang
besar seperti sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh
hidupnya di kota pekalongan .Ia cinta pekalongan dan tak ingin meninggalkan
kota ini .
“ Mohon bapak sampaikan ke sinuwun
, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan , ini tanah
kelahiran saya , rumah saya . Sampaikan hormat saya pada beliau ,dan sampaikan
permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya !” Brigadir Royadin
bergetar , ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX , Amarah
hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang
dari orang yang menjadi korban ketegasannya.
July 2010 , saat saya mendengar
kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada sang khalik dari keluarga
dipekalongan , saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya .
Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya
ini pada semua sanak family yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan
perilaku dan prinsip kepada keturunannya , sekaligus kepada saya selaku
keponakannya. Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir
masa baktinya , pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang
selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran .
Hormat amat sangat kepadamu Pak
Royadin, Sang Polisi sejati . Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan
Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang
sampai merauke.
KISAH SEORANG POLISI YANG MENILANG ISTRI,
PERWIRA POLISI, DAN ANGGOTA KPK
Anggota Satlantas Polres Gresik, Jawa Timur,
Aiptu Jailani tampak gamang. Suatu siang ia menilang wanita pengendara sepeda
motor yang menerobos lampu merah, yang tidak lain adalah istrinya sendiri.
Demi menegakkan hukum, pria yang telah 24 tahun mengabdi di
kepolisian ini tetap memberikan tilang. Untuk menebus kekecewaan sang
istri, pria yang telah dikarunia dua anak ini membelikan sekuntum mawar untuk
sang istri.
Di tangkai mawar, ia mengikat secarik kartu
bertuliskan, “MA, MAAF TADI PAPA TILANG, PAPA HARAP MAMA MENGERTI, PAPA CINTA
MAMA.”. Setelah selesai tugas dan pulang ke rumah, Aiptu Jailani mendapati
istrinya telah tidur.
Kisah tersebut kemudian diangkat menjadi film
pendek diangkat menjadi film pendek yang diproduksi oleh Forum Film Jambi. Film
berjudul ‘Kisah Nyata Polisi Menilang Istrinya’ telah ditonton lebih dari
277.881 kali.
Berikut kisah ketegasan Aiptu Jailani tilang
istri jadi inspirasi film pendek.
1. Menilang istri yang terobos lampu merah
Kisah aksi tilang Aiptu Jailani yang paling
diingat oleh warga Gresik, ketika menilang sang istri, Rahmawati (45), warga
Jalan Jaksa Agung Suprapto Gg 6D/23 pada bulan Maret 2012.
Saat itu, Jailani bertugas mengamankan Car
Free Day (CFD). Istrinya yang dalam perjalanan pulang, melintasi gang kecil dan
terjebak di jalur CFD. Oleh polisi lain, Rahmawati diarahkan keluar dari area
CFD. Sayang, pelanggaran itu, diketahui suaminya yang tengah mensweeping
pengendara motor yang melanggar rambu CFD.
Rahmawati pun mendapat tilang dari sang suami.
“Untung hari itu, hanya teguran tilang simpatik saja, sehingga istri saya tidak
sampai disidang. Dan untungnya juga, istri saya mau mengerti dan memahami
tindak tegas saya. Justru dia mendukung aksi saya,” ungkap Jailani sembari
tersenyum geli.
2. Menilang polisi yang pangkatnya lebih
tinggi
Dalam menegakkan hukum, Aiptu Jailani selalu
bertindak tegas. Bahkan ia pernah menilang perwira dari Polda Jawa Timur,
anggota polisi yang pangkatnya lebih tinggi tetap ditilangnya.
Polantas kelahiran Jombang 44 tahun silam itu
menilang si perwira tersebut karena memarkir kendaraannya tepat di rambu
larangan parkir. Padahal, mobilnya itu di depan rumahnya sendiri, yang berada
tepat di pinggir salah satu jalan protokol.
Kemudian, keesokan harinya, sekitar pukul
06.00 WIB, Jailani yang melihat itu, mendatangi rumah si perwira dan mengetuk
pintu rumahnya. Sang pemilik rumah marah dengan ulah Jailani dan menelepon
Kapolres Gresik agar menindak tegas ulah Jailani.
“Saat itu, saya meminta surat-surat mobilnya
untuk saya periksa dan beliau (si perwira Polda Jatim) bilang: Saya ini dari
Polda loh Dik. Saya bisa saja meminta kapolres untuk memberi sanksi sama kamu.
Tapi akhirnya beliau memahami soal aturan lalu lintas dan mengerti dengan tugas
dan tanggung jawab saya sebagai petugas,” kata Jailani menceritakan
pengalamannya.
3. Menilang anggota KPK
Dalam memberikan surat tilang, Aiptu Jailani
tidak pernah pandang bulu. Mulai dari warga sipil, petinggi polisi, TNI,
wartawan hingga pejabat Pemkab Gresik. Bahkan, di tahun 2012, suami dari
Rahmawati itu, pernah menilang seorang anggota KPK.
Saat itu, diceritakan Jailani, dia melihat
mobil yang menerobos lampu merah, lalu saya kejar. “Saat mobil sudah saya
hentikan, saya mencatat surat tilang, lalu si pengemudi keluar dan menyodorkan
uang Rp 50 ribu kepada saya,” ungkap Jailani.
Mendapat uang itu, yang entah jebakan atau
memang sengaja menguji kejujuran Jaelani, bapak dari Nilam AW (15) dan M Karim
(13) itu menolak dan meminta yang bersangkutan mengikuti aturan yang berlaku
4. Menolak uang suap
Sebagai penegak hukum, Aiptu Jailani selalu
menolak jika ada pengendara yang mendapat tilang akan menyuapnya. Salah satu
contohnya saat dirinya disuap oleh anggota KPK saat menerobos lampu merah.
Pria yang sudah 24 tahun mengabdi di
kepolisian ini mengatakan, si pengemudi malah mengeluarkan tanda anggota KPK
sambil meminta ‘damai’ yang padahal, mestinya anggota KPK yang notabene-nya
petugas pemberantas tindak korupsi, men-support anti suap.
“Mesti begitu, ya tetap saya proses. Sebab
cara mengemudinya, bisa membahayakan orang lain dan dirinya sendiri,” kata
Jailani tanpa menyebut nama si pengemudi sambil memperagakan cara anggota KPK
itu memperlihatkan identitasnya.
SAAT JENDRAL DITILANG POLISI
Mungkin anda banyak yang beranggapan kalau seorang Jenderal bisa
kebal hukum di jalan raya, pasalnya Ketika seorang Jenderal apalagi menjabat
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) ditilang di jalan raya, pastinya semua
berfikir sama, sang Jenderal akan lolos karena jabatannya yang tinggi tersebut.
Namun
berbeda dengan kisah seorang KASAD yang ditilang seorang polantas di daerah
Yogyakarta. Dia tak marah pada polisi itu dan atau bahkan menggunakan
kekuasaannya supaya lolos dari jerat hukum dan menghukum polantas yang
menilangnya, padahal bisa saja itu ia lakukan karena dia pemimpin dari seluruh
prajurit Angkatan Darat di Indonesia.
Cerita teladan ini diceritakan oleh mantan Kepala Staf TNI
Angkatan Darat Jenderal Mayor Bambang Soegeng.
Ceritanya tahun 1952, saat itu sang Jenderal memang hobi banget
naik motor, ketika sedang berada di Yogyakarta. Dia meminjam motor milik
Haryadi, salah seorang pelukis kenalannya.
Jadilah hari itu Sang Jenderal keliling kota Yogyakarta dengan
motor sang pelukis. Saat tiba di perempatan Tugu yang mengarah ke jalan
Malioboro, ada lampu lalu lintas yang saat itu menyala kuning. Sang Jenderal
menyangka bahwa habis lampu kuning akan lampu hijau, dan Sang Jenderal pun
tancap gas. Ternyata setelah lampu kuning, yang menyala adalah lampu merah,
yang mengharuskan kendaraan berhenti.
Tiba-tiba seorang Polisi lalu lintas menghetikan Dang Jenderal
yang saat itu berpakaian sipil. Sang Jenderal berhenti. Saat itu Polisi lalu
lintas itu pun menasihati panjang lebar soal peraturan lalu lintas, bahkan
kemudian meminta SIM milik Sang Jenderal.
Spontan kaget, saat Polisi tersebut melihat siapa nama yang
tertera di SIM tersebut. Yang ia hentikan adalah sosok paling disegani di
Angkatan Darat, yakni Kepala Staf TNI AD Jenderal Mayor Bambang Soegeng.
"Siaap Pak!" spontan sang Polisi langsung berdiri
tegak dan memberi hormat. Dalam dirinya sang Polisi sedang mengira-ngira
hukuman apa yang akan ia dapatkan, karena telah mau menilang seorang Jenderal.
Namun dengan bijaksana Sang Jenderal mengaku salah. Dia tak
marah atau menghukum pada polisi itu. Alih-alih menggunakan kekuasaannya supaya
lolos dari jerat hukum alias minta diloloskan dari tilang bro-sis.
"Memang saya yang salah. Saya menerima pelajaran dari Pak
Polisi," kata Bambang Soegeng.
Kisah inspiratif ini bisa anda baca dalam buku Panglima Bambang
Sugeng, Panglima Komando Pertempuran Merebut Ibu Kota Djogja Kembali 1949. Buku
tersebut ditulis oleh Edi Hartoto dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun
2012.
"Hal itu masuk berita di koran Yogya, keesokan harinya saya
berkesempatan membacanya," kata Putra Bambang Soegeng, Bambang
Herulaskar soal kasus KASAD disetop Polisi.
Nah, seorang Jenderal besar aja bisa dengan begitu rendah
hatinya di jalanan ya, apalagi kita yang hanya masyarakat biasa. Soo... sekali
lagi bijaksanalah di jalan, taat aturan lalu lintas, dan taat hukum.
KISAH INSPIRATIF SEORANG
JENDERAL JUJUR, HANYA MAU PEMBERIAN YANG HALAL DARI KAPOLRI
Para
pejabat di kementerian agama seharusnya belajar dari Mantan Gubernur Sumatera
Barat, Brigjen Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa. Jangankan mengkorupsi
duit haji, dibiayai Kapolri naik haji pun jenderal jujur ini tak mau.
Cerita ini
terjadi tahun 1967. Setelah pensiun, Kaharoeddin didatangi oleh Brigjen Polisi
Amir Machmud. Amir Machmud adalah keluarga sekaligus sahabat Kaharoeddin.
Hubungan mereka sangat dekat sejak awal kemerdekaan. Amir yang merupakan junior
Kaharoeddin ini menjadi jenderal polisi yang paling bersinar saat itu.
Brigjen
Amir ditugasi Kapolri Jenderal Sutjipto Judodihardjo untuk menjemput
Kaharoeddin ke Jakarta. Selanjutnya Kaharoeddin akan naik haji diongkosi
Kapolri. Mungkin Kapolri saat itu sengaja menyuruh Amir yang menjemput karena
tahu kedekatan mereka. Amir diharapkan mampu membujuk Kaharoeddin yang terkenal
keras menolak semua gratifikasi, termasuk dari atasannya sendiri.
Maka
tanggal 16 Agustus 1967, Amir datang ke kediaman Kaharoeddin di Jl Tan Malaka
no 8, Kota Padang. Suasana pertemuan berlangsung hangat dan penuh kekeluargaan.
Namun Kaharoeddin menolak pemberian Kapolri untuk naik haji.
"Malu
kalau naik haji diuruskan Kapolri," kata Kaharoeddin seperti dikutip dalam
buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di
Tengah Pergolakan, terbitan Pustaka Sinar Harapan tahun 1998.
"Dia
saklek kalau urusan seperti ini. Tak mau menerima pemberian apa pun," kata
cucu Kaharoeddin, Aswil Nasir, membenarkan kisah ini saat berbincang dengan
merdeka.com.
Cerita tak
berakhir di sana. Pada Lebaran tahun 1970, Bupati Tanah Datar Mahjoeddin
Algamar dan Wali Kota Padang Achirul Jahja datang ke rumah Kaharoeddin. Bagi
keduanya dan Bupati Pariaman M Noer, Kaharoeddin memang sudah dianggap ayah
sendiri.
Saat
berbincang, mereka merayu dengan halus agar Kaharoeddin mau naik haji. Maklum,
Kaharoeddin dianggap ahli agama, taat beribadah dan jujur. Sayang kalau Rukun
Islamnya belum lengkap jika tak ke Tanah Suci.
Begitu
dirayu, Kaharoeddin langsung memotong pembicaraan itu.
"Jadi
maksud kalian mau menggunakan uang negara untuk ongkos naik haji saya?"
tanyanya tegas.
Buru-buru
dua bupati itu menggeleng. "Bukan begitu Bapak. Bapak jangan berpikiran
seperti itu. Kami kan anak-anak bapak. Kami akan iuran agar bapak bisa naik
haji," kata mereka.
Keduanya
berkali-kali menjelaskan ini sama sekali bukan uang negara, melainkan uang
pribadi mereka. Sengaja ditabung sebagai pemberian agar Kaharoeddin bisa
berhaji.
Setelah
lama dibujuk dan yakin uang ini merupakan uang halal, Kaharoeddin mau juga
berangkat. Tapi masalah baru muncul, keluarga ingin agar Kaharoeddin naik haji
bersama istrinya. Pasangan ini memang sama-sama berusia lanjut.
Tapi
Kaharoeddin enggan meminta pada siapa pun. Demi ongkos naik haji istrinya,
keluarga Kaharoeddin akhirnya menjual tanah milik mereka. Dengan itu
Kaharoeddin mampu berhaji tahun 1971. Padahal dia menjadi Komandan Polisi
Sumatera Tengah bertahun-tahun. Dia juga menjadi Gubernur Sumatera Barat selama
tujuh tahun. Dia gubernur pertama Sumatera Barat.
Jika mau,
enteng saja Kaharoeddin naik haji bersama keluarganya dengan biaya dinas. Atau
malah mengkorupsi uang negara untuk naik haji atau umroh. Sudah rahasia umum,
banyak sekali pejabat yang melakukan hal itu. Tapi Kaharoeddin tak mau. Dia
tidak ingin jadi koruptor.
Seandainya
semangat Brigjen Kaharoeddin masih diteladani sampai saat ini, tentu rakyat
Indonesia tak akan sengsara.
Semoga kisah – kisah ini cukup menginspirasi...
Selamat bertugas,
Tetap semangat dalam menegakkan
hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat!!!
Bravo Polri!!!