POLISI LALU
LINTAS
Dirgahayu Polantas ke-59 (22 September 1955 - 22 September 2014)
Sejarah
Polisi Lalu lintas di Indonesia tidak lepas dari sejarah Kepolisian itu sendiri
khususnya Polisi secara universal. Karena itu untuk lebih mengenal sejarah
Polisi lalu lintas maka seyogyanya kita awali dengan berbagai sejarah Polisi
itu sendiri.
Sejarah istilah “polisi” ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda, hal ini
pada kenyataanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu negara, bahasa dan
sejarah lingkup tugas dan wewenang polisi. Faktor negara dalam hal ini sejarah
suatu negara akan berpengaruh dalam pembentukan pengertian istilah “polisi”,
tentu saja negara-negara yang dijajah oleh negara lain juga akan terpengaruh
terhadap perkembangan/sejarah istilah “polisi” oleh negara yang menjajah.
Istilah “polisi” dalam bahasa yang berbeda mempunyai arti yang khusus, sesuai
dengan pengertian yang dikehendaki dimana bahasa tersebut yang dipengaruhi oleh
keadaan sosial budaya.
Dalam perkembangannya sejarah istilah “polisi” telah mengalami berbagai
perubahan yang diakibatkan terjadinya penyempitan dan pengkhususan tugas dan
wewenang institusi polisi. Penyempitan dan pengkhususan tugas-tugas/wewenang
polisi dilakukan dalam upaya membatasi tugas dan wewenang polisi yang sangat
kompleks dan teramat luas, sehingga tugas dan wewenang polisi sesuai dengan
perkembangan keadaan dan tuntutan masyarakatnya.
Negara Inggris menggunakan istilah Constable yang mengandung 2 (dua) macam
arti, yaitu : (1) Police Constable sebagai sebutan untuk pangkat terendah di
kalangan kepolisian dan (2) Office Constable yang mengandung arti kantor
polisi. Sedangkan Amerika Serikat menggunakan istilah Sheriff yang sebenarnya
berasal dari bangunan sosial Inggris. Negara Jerman menggunakan istilah Polizei
yang mengandung arti luas yaitu meliputi : (1) Urusan kesejahteraan rakyat
(Wohlfahrts Polizei), yang mendekati mengertian pamong praja atau Bestuur,
mengusahakan kesejahteraan, keamanan dan penolakan bahaya; dan (2) Urusan
keamanan (Sicherheits Polizei) yang mengandung arti polisi keamanan.
Negara Yunani menggunakan istilah Politeia yang mengandung arti luas meliputi
seluruh pemerintahan negara kota, termasuk urusan-urusan keagamaan seperti
penyembahan terhadap dewa-dewanya. Berbeda dengan Yunani, negara Romawi
menggunakan istilah Politia yang berarti pemerintahan negara. Di Indonesia
istilah Polisi berasal dari proses indonesianisasi dari istilah Belanda
Politie. Dalam rangka Catur Praja dari Van Vollenhoven, istilah “polisi”
terbagi dalam : Bestuur (eksekutif), Politie (polisi), Rechtspraak (yudikatif),
Regeling (legislatif).
Jika merunut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka pengertian
Polisi secara umum adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan
dan ketertiban umum, sedangkan pengertian polisi lalu lintas adalah polisi yang
memelihara keamanan dan keselamatan lalu lintas (KBBI, 2001:886). Untuk lebih
mengenal sejarah polisi lalu lintas di Indonesia, maka penulis akan mengupasnya
berdasarkan periode waktu sebagai berikut :
A. Jaman
Penjajahan
a. Penjajahan Belanda
Perkembangan lalu lintas di Indonesia pada umumnya sangat dipengaruhi oleh
perkembangan dunia otomotif secara global. Dunia otomotif sendiri mengalami
perkembangan sejak ditemukannya teknologi mobil dan motor yang berkembang di
Eropa pada abad ke-19. Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menjajah
Indonesia mulai membawa mobil dan sepeda motor masuk ke Indonesia. Mulai
munculnya aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor di Indonesia. Ketika mobil
dan sepeda motor bertambah banyak Pemerintah Hindia Belanda mulai merasa perlu
mengatur penggunaannya. Peraturan pertama di keluarkan pertama kali pada
tanggal 11 Nopember 1899 dan dinyatakan berlaku tepat tanggal 1 Januari 1900.
Bentuk peraturan ini adalah Reglement (Peraturan Pemerintah) yang disebut
Reglement op gebruik van automobilen ( stadblaad 1899 no 301 ). Peraturan ini
kemudian diubah pada tahun 1910 yang ditandai dengan dikeluarkannya Motor
Reglement (stb 1910 No.73). Peraturan itu sendiri
dikeluarkan dikarenakan semakin banyaknya kendaraan bermotor yang masuk ke
Indonesia sebagai sarana mobilisasi penjajah Belanda.
Organ kepolisian sendiri telah ada lebih awal sejak jaman VOC, namun baru di
pertegas susunannya pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Sanford Raffles,
masa pendudukan Inggris. Kala itu, kantor Polisi hanya dibangun pada kota-kota
tertentu yang termasuk dalam kategori kota besar seperti Jayakarta, Semarang,
dan Surabaya. Untuk mengimbangi perkembangan lalu lintas yang terus meningkat,
maka pemerintah Hindia Belanda memandang perlu membentuk wadah Polisi
tersendiri yang khusus menangani lalu lintas, sehingga pada tanggal 15 Mei
1915, dengan Surat Keputusan Direktur Pemerintah Dalam Negeri No. 64/a lahirlah
satu organ Polisi Lalu Lintas dalam tubuh Polisi Hindia Belanda.
Dalam organ Polisi pada waktu itu ada empat bagian, yaitu bagian sekretaris,
bagian serse, bagian pengawas umum dan bagian lalu lintas. Pada mulanya bagian
lalu lintas di sebut Voer Wesen, sebagai jiplakan dari bahasa Jerman “Fuhr
Wessen” yang berarti pengawasan lalu lintas. Organ ini terus disempurnakan, diberi
nama asli dalam bahasa Belanda Verkeespolitie artinya Polisi Lalu Lintas.
Selama penjajahannya Pemerintah Hindia Belanda aktif membuat aturan – aturan
mengenai Polisi Lalu Lintas. Pada tanggal 23 Februari 1933 dikeluarkan Undang –
undang lalu lintas jalan dengan nama : DE Wegverkeers Ordonantie (stadblaad
No68). Undang – undang ini terus disempurnakan tanggal 1 Agustus 1933
(stadblaad No 327). Tanggal 27 Februari 1936 ( stadblaad No 83), tanggal 25
Nopember 1938 ( stadblaad No 657 dan terakhir tanggal 1 Maret 1940 (stadblaad
No 72). Peraturan-peraturan tersebut dibuat dan disahkan oleh pemerintah Hindia
Belanda selain bertujuan untuk mengatur ketertiban kendaraan bermotor juga
diperuntukkan guna pengembangan jalan dalam kota, jalan antar kota, maupun jalan-jalan
lintas lainnya yang berguna bagi akses perpindahan para penjajah.
b. Penjajahan Jepang
Seperti yang kita ketahui, pada perang Asia Timur Raya Belanda dipaksa menyerah
pada kekuatan militer Jepang. Demikian pula dengan Indonesia yang kala itu dikuasai
oleh pemerintah Hindia Belanda ganti diambil alih oleh kekuasaan Jepang yang
lebih mengandalkan kekuatan militer. Begitu pula bidang lalu lintas juga diatur
dan dikuasasi dengan cara militer. Dalam organ kepolisian hanya ada organ
Kempetai (Polisi Militernya Jepang).
Masa penjajahan Jepang, pengatur jalan raya diambil alih oleh polisi militer,
sedangkan Polisi Lalu Lintas tidak nampak dan tidak banyak diketahui perannya
ketika itu. Sampai dengan mundurnya penjajah Jepang akibat kekalahannya pada
perang melawan sekutu, peranan polisi lalu lintas tidak banyak meninggalkan
catatan sejarah di Indonesia.
B. Jaman Kemerdekaan
a. Periode 1945-1950
Kemerdekaan Indonesia sesungguhnya juga tidak terlepas dari peranan para
tokoh-tokoh Polisi dijaman tersebut. Tokoh – tokoh Polisi tersebut antara lain
R.S. Soekanto dan R. Sumanto. Peranan para tokoh itu pulalah yang mengawali
perkembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, utamanya pasca proklamasi 17
Agustus 1945. Tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) menetapkan bahwa Polisi termasuk di dalam lingkungan Departemen Dalam
Negeri.
Dalam rangka membentuk lembaga kepolisian yang terstruktur dan organisasional
Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto Cokrodiatmojo sebagai Kepala Kepolisian
Negara RI atas saran dari Iwa Kusumasumantri dan Mr. Sartono. Penunjukan ini
dilakukan dalam sidang kabinet pada tanggal 29 September 1945 tanpa
sepengetahuan dirinya. Pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara
merupakan langkah awal pembentukan kepolisian nasional yang integratif. Hal ini
terlihat dari upaya untuk menyatukan satuan-satuan polisi di daerah yang
mandiri dan tanpa koordinasi setelah kemerdekaan dalam Kepolisian Negara RI.
Sejak peresmiannya, Kepolisian Negara memikul tanggungjawab keamanan yang berat
karena tentara nasional belum dibentuk secara resmi.
Pada bulan Februari 1946 Jawatan Kepolisian yang tergabung di dalam Departemen
Dalam Negeri memindahkan kantor pusat / kedudukannya di Purwokerto. Karena
kesulitan yang dihadapi oleh Jawatan Kepolisian pada waktu itu sedangkan mereka
sangat dibutuhkan maka pada tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah No.
11 /SD tahun 1946 Jawatan Kepolisian Negara dipisahkan dari Departemen Dalam
Negeri dan menjadi Jawatan sendiri dibawah Perdana Menteri, tanggal ini
selanjutnya di jadikan tanggal kelahiran dan dijadikan hari Bhayangkara. Pada
periode ini Jawatan Kepolisian Negara, mulai membenahi wadah – wadah,
organisasi kepolisian walaupun menghadapi berbagai kendala. Usaha – usaha yang
telah dilakukan antara lain:
1) Menyusun suatu Jawatan pusat dengan bagian – bagiannya. Tata Usaha Keuangan,
Perlengkapan, Organisasi Pengawasan Aliran Masyarakat dan Pengusutan Kejahatan.
2) Menciptakan peraturan – peraturan mengenai pakaian dinas, tanda pangkat,
tata tertib dan tata susila, baris berbaris dan lain – lain.
3) Menyusun kembali Polisi Lalu Lintas, dengan tugas lain yang pada saat dan
waktu mendatang diperlukan.
Dasar penyusunan kembali Polisi Lalu Lintas tersebut secara
resmi tidak diketahui, namun penyusunan ini mudah disebabkan keadaan lalu
lintas yang memang masih belum seramai seperti sekarang ini. Jumlah kendaraan
di masa pendudukan Jepang masih sangat sedikit. Sisa kendaraan dari masa
pendudukan Jepang yang ditinggal sedikit menjadi semakin berkurang, karena usia
dan suku cadang yang tidak tersedia atau sulit mencari gantinya. Pada periode
ini masalah lalu lintas belum mendapat perhatian yang sungguh – sungguh. Pada
tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Pertahanan Negara melalui aturan No. 112
memasukkan Kepolisian Negara sebagian atau seluruhnya menjadi kesatuan tentara.
Polisi dianggap perlu menjadi bagian dari militer dalam rangka mempertahankan
negara RI dari rongrongan Belanda. Fungsi ketentaraan ini dijalankan oleh Korps
Mobile Brigade yang membantu perjuangan tentara melawan agresi Belanda.
Sesuai Dengan perjanjian KMB, Indonesia diharuskan mengganti sistem
ketatanegaraan nya menjadi bentuk federal yang terdiri dari negara-negara
bagian maka Republik Indonesia pun berdiri dan UUD 1945 dianggap tidak berlaku
lagi karena tidak sesuai dengan prinsip negara federal. Wilayah RIS sendiri
terdiri atas Negara Republik Indonesia, Negara Indoneisa Timur, Negara
Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara
Sumatera Selatan, daerah Jawa Tengah, Daerah Bangka, Belitung, Riau, Dayak
Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, dan daerah Istimewa
Kalimantan Barat. Pada tanggal 16 Desember 1949 di Yogyakarta Ir. Soekrano
dipilih sebagai Presiden RIS, Moh. Hatta menjadi perdana Menteri, dan Sri
Sultan Hamengku Buwono (HB) IX sebagai Koordinator Keamanan yang memegang
kekuasaan tertinggi atas kepolisian dan institusi kemiliteran, sedangkan
sebagai wakilnya diangkat Kepala Kepolisian Negara R.S. Soekanto yang menangani
tanggung jawab kepolisian.
Meski banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang, usaha-usaha untuk
membangun Jawatan kepolisian RIS yang sesuai dengan keppres No. 22 tahun 1950
terus dilakukan. Dalam menghadapi situasi keamanan yang belum stabil, sangat diperlukan
sebuah kepolisian yang sentralistik di bidang kebijaksanaan teknis maupun
administrasi. Melalaui Penetapan Perdana Menteri No. 3 tanggal 27 Januari 1950
pimpinan kepolisian diserahkan kepada Menteri pertahanan dengan maksud
memusatkan pimpinan kepolisian dan ketentaraan dalam satu atap.
b. Periode 1950-1959
Setelah penyerahan kedaulatan Negara R.l tanggal 29 Desember 1949 baru dapat
dilanjutkan kembali. Pimpinan Polisi di daerah pendudukan yang dipegang oleh
kader – kader Belanda di ganti oleh kader – kader Polisi Indonesia. Hanya dalam
mereorganisasi Kepolisian Indonesia dinamakan Jawatan Kepolisian dan pada masa
terbentuknya Negara Kesatuan tanggal 17 Agustus 1950 berubah namanya menjadi
Jawatan Kepolisian Negara.
Karena kemajuan dan perkembangan masyarakat yang mulai perlu diantisipasi maka
organisasi Polisi memerlukan penyesuaian agar dapat mewadahi dan menangani
pekerjaan dengan cepat. Untuk itu diperlukan spesialisasi. Sehingga tanggal 9
Januari 1952 dikeluarkan order KKN No.6 / IV / Sek / 52. Tahun 1952 mulai
pembentukan kesatuan – kesatuan khusus seperti Polisi Perairan dan Udara serta
Polisi Lalu Lintas yang dimasukkan dalam pengurusan bagian organisasi.
Untuk Polisi Lalu Lintas di wilayah Jakarta Raya merupakan bagian tersendiri
yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut : (1) Mengurus lalu lintas;
(2)Mengurus kecelakaan lalu lintas; (3) Pendaftaran nomor bewijs; (4) Motor
Brigade keramaian; dan (5) Komando pos radio dan bengkel.
Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan lalu lintas yang semakin pesat
Kepala Jawatan Kepolisian Negara memandang perlu untuk membangun wadah yang
konkrit bagi penanganan -penanganan masalah lalu lintas. Oleh karenanya maka
pada tanggal 22 September 1955. Kepala
Jawatan Kepolisian Negara mengeluarkan Order No 20 / XVI / 1955 tanggal 22
September 1955, tentang Pembentukan Seksi Lalu Lintas Jalan, pada tingkat pusat
yang taktis langsung di bawah Kepala Kepolisian Negara. Maka saat itu
dikenal istilah lalu lintas jalan untuk pertama kalinya, yang mempunyai rumusan
tugas sebagai berikut:
1) Mengumpulkan segala bahan yang bersangkutan dengan urusan lalu lintas jalan.
2) Memelihara / mengadakan peraturan, peringatan dan grafik tentang kecelakaan
lalu lintas , jumlah pemakai jalan, pelanggaran lalu lintas jalan.
3) Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan perundang – undangan lalu lintas
jalan dan menyiapkan instruksi guna pelaksanaan di berbagai daerah.
4) Melayani sebab – sebab kecelakaan lalu lintas jalan di berbagai tempat di
Indonesia, dan menyiapkan instruksi dan petunjuknya guna menurunkan /
mengurangi angka kecelakaan lalu lintas.
Tahun 1956, di tiap kantor Polisi Propinsi dibentuk Seksi Lalu
Lintas dengan Order Kepala Kepolisian Negara No. 20 / XIII /1956 tanggal 27
Juli 1956 kemudian di kesatuan – kesatuan / kantor -kantor Polisi Karesidenan,
selanjutnya pada tingkat Kabupaten di bentuk pula seksi – seksi Lalu lintas
dengan berdasar pada Order KKN tersebut.
Pada periode ini telah diadakan beberapa kegiatan untuk perbaikan lalu lintas
antara lain menyangkut engineering misalnya:
1) Diperkenalkannya istilah pulau – pulau jalan oleh Komisaris Besar Untung
Margono untuk pertama kalinya di Indonesia. Pada pembuatan pulau – pulau ini
diadakan kerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum dengan maksud untuk
kelancaran lalu lintas.
2) Penegasan kembali pemasangan rambu – rambu lalu lintas yang mulai nampak
adanya penyimpangan – penyimpangan, baik bentuk, warna maupun pemasangannya.
Untuk itu pemasangan rambu perlu dasar hukum yang kuat karena Indonesia sudah
menjadi anggota Convention on Road Traffic.
3) Dimulainya pendidikan lalu lintas pada anak – anak sekolah agar anak – anak
sejak kecil sudah kenal dengan masalah – masalah lalu lintas. Maka dibentuklah
Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) untuk pertama kali di Jakarta pada tahun 1953
dengan maksud :
a) Menanamkan rasa tanggung jawab akan keselamatan lalu lintas terhadap orang
lain dan terhadap umum.
b) Membantu menjaga keamanan lalu lintas dan mengurangi kecelakaan terutama
yang melibatkan anak – anak sekolah.
c) Berusaha mewujudkan cita – cita masyarakat yang mempunyai disiplin lalu
lintas yan tinggi sopan santun dan berpengetahuan lalu lintas yang luas.
c. Periode 1959-1965
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak hanya berdampak pada berubahnya
struktur tata pemerintahan Negara akan tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap
perubahan- perubahan struktur dalam organisasi Kepolisian Negara. Perubahan
pertama adalah terbentuk nya departemen kepolisian berdasarkan SK. Presiden No.
154/1959 tanggal 15 Juli 1959 berikutnya, berdasarkan SK. Presiden No.
1/MP/RI/1959 sebutan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda
Kepolisian namun buka termasuk kedalam menteri anggota kabinet, dalam hal ini
yang menjabat adalah R.S. Soekanto.
Pada tanggal 23 Oktober 1959 dengan peraturan sementara dari Menteri / KKN di
keluarkan peraturan sementara Menteri /KKN No. 2.PRA/MK/1959 tentang Susunan
dan Tugas Markas Besar Polisi Negara. Dengan berdasar pada peraturan ini status
Seksi Lalu Lintas Jalan di perluas menjadi Dinas Lalu Lintas dan Polisi Negara
Urusan Kereta Api (PNUK). Tugas – tugas lainnya antara lain :
1) Mengatur pemberian jaminan bantuan kepada instansi – instansi yang
membutuhkan bantuan Polisi bagi kelancaran dan keamanan lalu lintas daratan.
2) Kedua mengatur pelaksanaan pemeliharaan kelancaran dan keamanan lalu lintas
di daratan termasuk Kereta Api.
3) Memberi nasehat dan saran – saran mengenai soal – soal lalu lintas di
daratan kepada instansi – instansi yang membutuhkan.
Untuk membantu Menteri Muda kepolisian dibentuklah lembaga Direktorat Jenderal
yang dipegang oleh seorang direktur. Kebijakan lainnya adalah mengubah wewenang
kepengurusan bidang keuangan yang semula di bawah Perdana Menteri ke Menteri
Muda Kepolisian Negara. Status kepolisian baru jelas ketika ditetapkan- nya
ketetapan MPRS No. II/ MPRS/ 1960 yang menyatakan Kepolisian Negara menjadi
Angkatan Bersenjata dan ketetapan tersebut dipertegas dengan penetapan DPR-GR
tanggal 19 Juni 1961 tentang Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13/1961 yang
tertuang dalam pasal 3 dalam undang-undang tersebut dijelas- kan bahwa
kepolisian negara adalah Angkatan Bersenjata.
Kepala Dinas Lalu Lintas / PNUK adalah Ajun Komisaris Besar Polisi Untung
Margono yang menggantikan Komisaris Besar Polisi H.S Djajoesman. Setelah
pergantian pimpinan Polisi dari Menteri Muda Kepolisian R.S. Soekanto oleh
Sukarno Djoyo Negoro mantan Kepala Kepolisian Jawa Timur, kemudian disusul
reorganisasi kepolisian yaitu tentang susunan dan tugas kepolisian tingkat
departemen.
Dalam reorganisasi ini Dinas Lalu Lintas / PNUK dimasukkan dalam Korps Polisi
Tugas Umum termasuk didalamnya Perintis Polisi Wanita dan Polisi Umum, tanpa
mengurangi tugas – tugas Dinas Lalu Lintas sebelumnya :
1) Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Sementara JM Menteri/KSAK tanggal 31
Desember 1961.
2) Tanggal 23 Nopember 1962 dikeluarkan pula peraturan JM Menteri/KSK No.
2.PRT/KK/62 dibentuk kembali Dinas Lalu Lintas, yang terpisah dari Polisi tugas
Umum, sedangkan PNUK tetap dimasukkan dalam jajaran Polisi Tugas Umum.
3) Tanggal 14 Februari 1964 dengan Surat Keputusan JM MEN PANGAK No.
Pol.:11/SK/MK/64 Dinas Lalu Lintas diperluas kembali statusnya menjadi
Direktorat Lalu Lintas. Dengan Surat Keputusan ini maka untuk pertama kali
reorganisasi kepolisian bidang lalu lintas menggunakan nama Direktorat Lalu
Lintas di tingkat pusat.
Undang-undang Kepolisian yang lahir pada kala itu memang
merupakan bentuk tonggak sejarah dalam perkembangan Kepolisian modern di
Indonesia, namun karena dalam penjelasan undang- undang tersebut dikatakan
bahwa status kepolisian terletak diantara sipil dan militer maka integrasi
kepolisian ke dalam ABRI menjadi setengah-setengah. Baru pada tahun 1964
berdasarkan Keppres No. 290 tahun 1964 yang disempurnakan lagi pada tanggal 23
Juli 1965 angkatan Kepolisian diintegrasikan dengan unsur-unsur ABRI lainnya
yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sehingga kedudukan
hukum, personel, material, keuangan, organisasi, administrasi, dan perawatan
angkatan kepolisian diatur secara umum dan terintegrasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, bekerja sama dengan Departemen Perhubungan
Darat dan Direktorat Pendidikan dan Latihan telah dirintis pendidikan kejuruan
kader-kader Polantas. Kelanjutan dari kerja sama ini adalah, dikirimnya
beberapa Perwira Polisi ke Amerika yaitu Northwestern University Of Traffic
Institute (NUTI) dan California High Way Patrol di Sacrament (USA) untuk
memperluas pengetahuannya di bidang lalu lintas. Dengan kembalinya para perwira
yang mengikuti tugas belajar di Amerika, mulailah dirintis untuk pertama
kalinya pendidikan Bintara Patroli Jalan Raya (PJR) di Sukabumi tahun 1962 yang
diikuti oleh 40 siswa Polisi Lalu Lintas Komisaris di P. Jawa dan Bali. Dan
mulai pula Kesatuan Lalu Lintas mengembangkan sayapnya guna memenuhi tuntutan
jaman dengan membentuk kesatuan-kesatuan PJR.
Pembentukan kesatuan memerlukan perlengkapan yang cukup, dan hal ini dipenuhi
dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat seperti kendaraan bermotor (Jeep
dan sedan Falcon dan Chevy) serta alat-alat komunikasi radio (motorola), sepeda
motor Harley Davidson. Adanya kesatuan PJR didalam tubuh Polri/ Polantas,
merupakan suatu organ baru yang sangat menunjang dan sangat diperlukan, baik
untuk keamanan, dan penegakan hukum serta penyidikan kecelakaan lalu lintas,
tugas-tugas tindakan pertama pada kejahatan maupun bantuan taktis dapat
dilaksanakan.
Karena Perkembangan situasi politik, hubungan diplomatik Indonesia dengan
Amerika Serikat mulai memburuk kemudian Polri lepas hubungan dengan Amerika
Serikat, sehingga bantuan terputus. Bidang pendidikan masyarakat lalu lintas
mulai dikembangkan, Polisi Lalu Lintas mulai membuat majalah, mengenalkan cara
berlalu lintas pada pramuka dan membentuk Patroli Keamanan Sekolah (PKS).
Karena kecelakaan lalu lintas sudah mulai menjadi masalah, Polisi Lalu Lintas
mulai mengadakan penerangan-penerangan kepada masyarakat tentang tata cara
berlalu lintas yang baik dan benar.
Pada periode ini mulai muncul usaha yang kuat untuk menyusun Undang-undang lalu
lintas dan angkutan jalan untuk menggantikan VWO tahun 1933 peninggalan
Belanda. Tahun 1965 berhasil menyusun Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Raya No. 3Tahun 1965. Kegiatan-kegiatan Polantas terus dikembangkan,
tugas operasional Polisi Lalu Lintas tidak terbatas hanya berkaitan dengan lalu
lintas saja, tetapi juga yang berkaitan dengan fungsi lain seperti ikut
membantu penindakan terhadap kejahatan, penculikan, kebakaran dan lain-lain.
Disamping itu dalam setiap penyelenggaraan kegiatan yang bersifat internasional
di Indonesia Polisi Lalu Lintas selalu berperan aktif.
d. Periode
1965-1998
Munculnya gerakan G 30 S/PKI pada tanggal 30 September 1965 menuntut segenap
alat negara untuk bersatu dengan kokoh, meskipun cukup alot, integrasi Polri ke
tubuh ABRI akhirnya dapat berlangsung. Keterpaduan ABRI dan Polisi diharapkan
menjadi kekuatan Hankam yang tangguh untuk menghalau setiap pemberontakan dan
pengacau yang mengancam keamanan negara dan bangsa Indonesia.
Integrasi ABRI dengan Polri di kongkritkan dengan Keppres no. 79/1969 yang
berisi Pembagian dan Penentuan Fungsi Hankam. Meskipun berbeda dengan angkatan
perang yang terdiri dari AD, AU dan AL tetapi Polri menjadi bagian dari
Departemen Hankam.
Dengan Keppres tersebut Polri kembali mengadakan penyesuaian-penyesuaian dan
perubahan-perubahan dalam tubuh organisasi baik di tingkat pusat maupun daerah.
Demikian halnya di kesatuan Polisi Lalu Lintas. Untuk menyusun organisasi
kepolisian maka dikeluarkan Surat keputusan Men Hankam Pangab No. Kep.
A./385A/1111970 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara
R.l. Sebagai penjabarannya dikeluarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol. 113/SK/1970 tanggal 17 September 1970
tentang Organisasi Staf Umum dan Staf Khusus dan Badan-badan pelaksana Polri,
maka lahirlah organisasi baru di lingkungan Polri.
Demikian juga di kalangan Polisi Lalu Lintas Pusat. Dua tahun sebelum surat
keputusan ini (tahun 1968) di tingkat pusat dibentuk Pusat Kesatuan Operasi
Lalu Lintas (Pusatop Lantas), dengan komandannya KBP Drs. U.E. Medelu. Dengan
keluarnya SK tersebut berubah kembali menjadi Direktorat Lalu Lintas tahun
1970, yang merupakan salah satu unsur Komando Utama Samapta Polri, sehingga
kemudian disebut Direktorat Lalu Lintas Komapta.
Pada periode ini dibentuk Patroli Jalan Raya (PJR) oleh Mabes Polri, meski
sebenarnya pembentukan Patroli Jalan Raya sudah dilakukan di Kepolisian Daerah,
namun baru tahun 1966 dibentuk secara resmi berdasarkan instruksi Men Pangab
No. 31/lnstr/MK/1966. Pembentukan Kesatuan PJR ini memang didasari dengan
pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Dalam pelaksanaan tugasnya anggota PJR dituntut untuk selalu siaga dan
berpedoman kepada motto courtesy, protection, and service (ramah tamah
perlindungan dan pelayanan). Detasemen PJR ini dipimpin oleh seorang komandan
yang ditunjuk oleh Direktur Lalu Lintas dibawah pengawasan Kepala Dinas
Pengawasan Direktorat Lalu Lintas.
Permasalahan lalu lintas mulai terasa meningkat ditandai meningkatnya frekwensi
pelanggaran lalu lintas. Nampaknya masalah ini cukup merisaukan, terlebih para
aparat penegak hukum. Dipandang dari segi sarana penindakan tampak memang
kurang efektif. Tahun 1969 dibentuk team untuk merumuskan sistem penindakan
pelanggaran lalu lintas yang praktis dan cepat.
Pada tanggal 11 Januari 1971 lahir Surat Keputusan Bersama antara Ketua
Mahkamah Agung No. 001/KMA/71, Jaksa Agung No. 002/DA/1971, Kepala Kepolisian
R.l No. 4/SK/Kapolri/71 dan Menteri Kehakiman No. JS/1/21 yang mengesahkan
berlakunya Sistem Tilang untuk pelanggaran lalu lintas. Dari Pihak Polri Tim
perumus diwakili oleh Jenderal Memet Tanu Miharja, Brigjen Pol. Drs. VE.
Madelu, Letkol Pol Drs. Basirun. Mulai tahun 1971 mulailah pelanggaran lalu
lintas ditindak dengan tiket system yang dikenal dengan bukti pelanggaran
disingkat tilang. Tanggal 29 Maret 1969 didirikan Pusat Pendidikan Lalu Lintas
(Pusdik Lantas) yang berkedudukan di jalan MT. Haryono Jakarta Selatan, masih
satu kantor dengan Direktorat Lalu Lintas Polri. Kemudian pada tahun 1985
dipindahkan ke Serpong Tangerang Jawa Barat sampai saat ini sejak tahun 1969 pendidikan
lalu lintas untuk Perwira dan Bintara Lalu Lintas dapat dilaksanakan secara
teratur.
Berdasarkan Surat Keputusan Men Hankam No. Kep/15/IV/1976 tanggal 13 April
1976, Skep Kapolri No. Pol. Skep/507V111/1977, dan Skep Kapolri No. Pol.
Skep/53/VII/1977 di tingkat Mabak terdapat dua unsur lalu lintas. Pertama ;
Dinas Lalu Lintas Polri yang berkedudukan sebagai Badan Pelaksana Pusat dibawah
yang sehari-harinya dikoordinasi oleh Deputy Kapolri dengan tugas pokok
membantu Kapolri untuk menyelenggarakan segala kegiatan dan pekerjaan di bidang
pencegahan, penanggulangan terhadap terjadinya gangguan/ancaman terhadap
Kamtibmas di bidang Lantas dan menindak apabila diperlukan dalam rangka
kegiatan atau operasional Kepolisian, Kedua : pusat system senjata Lalu Lintas
Polri yang berkedudukan dibawah Danjen Kobang Diklat Polri dengan tugas pokok
menyelenggarakan segala usaha kegiatan mengenai pengembangan taktik dan teknik
system senjata serta pendidikan latihan di bidang fungsi teknis lalu lintas
Polri dalam rangka system Kamtibmas, serta tugas lain yang dibebankan padanya.
Pusdik lantas kedudukannya dibawah Pusenlantas sebagai penyelenggara
pendidikan. Dan secara organisatoris terpisah dari Dinas Lalu Lintas.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Pangab No.Kep/11/P/III/1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan
Prosedur Kepolisian Negara R.l, dan Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/09/X/1984
tanggal 30 Oktober 1984, Pusdik lantas kembali berada di bawah Direktorat
Pendidikan Polri.
Pada tahun 1984 dengan Surat keputusan Pangab No. Kep/11/P/ll 1/1984 tanggal 31
Maret 1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian R.l, Dinas
Lalu Lintas Polri dirubah dan diperkecil struktur organisasinya menjadi Sub
Direktorat Lalu Lintas Polri di bawah Direktorat Samapta Polri bersama-sama
dengan Subdirektorat Polisi Perairan, Polisi Udara dan Satwa Polri. Pada tahun
1991 tepatnya tanggal 21 Nopember 1991 Subdirektorat Lalu Lintas dikembangkan
kembali organisasinya menjadi Direktorat Lalu Lintas Polri berkedudukan di
bawah Kapolri yang sehari-harinya dikoordinasikan oleh Deputi Operasi Kapolri.
e. Periode 1998-sekarang
Pada waktu terjadi demonstrasi dan kekacauan di Jakarta dan kota-kota lain di
Indonesia pada medio 1998, Polisi Lalu Lintas tetap aktif mengendalikan arus
lalu lintas dalam melaksanakan tugas dibidang lalu lintas lainnya dengan penuh
semangat, walaupun gelombang demonstrasi panjang cukup melelahkan Polisi Lalu
Lintas tetap mewujudkan Kamtibcar Lantas. Seiring dengan tuntutan demokratisasi
dan supremasi hukum maka ditahun 1999 kedudukan Polri dipisahkan dari bagian
ABRI menjadi di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dengan terbitnya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : VI/MPR/2000
tanggal 18 Agustus 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Nomor : VII/MPR/2000 tanggal 18
Agustus 2000 tentang Peran Tentara Nasional Republik Indonesia dan Peran
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kedudukan Polri yang mandiri dan berada langsung di bawah Presiden RI ditandai
dengan lahirnya Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Pada tahun 2004 merupakan salah satu tonggak sejarah yang
menunjukkan eksistensi Polantas yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor
31 Tahun 2004 tentang Penetapan Tarif PNBP yang berlaku dilingkungan Polri
dimana 7 kewenangan yang diatur dalam PP tersebut 6 kewenangan milik Polantas.
Dengan terbitnya PP No 31 Tahun 2004 sebagai pelaksanaan dari Undang – undang
No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak menghilangkan kesan
Duplikasi tugas Pokok Polisi Lalu Lintas dengan Departemen Perhubungan, yaitu
dimana Peran Polisi Lalu Lintas berada dalam tataran Keamanan Dalam Negeri
melalui Registrasi dan Identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi yang
merupakan ciri khas dari tugas – tugas Polisi secara Universal selaku aparat
penegak hukum menggunakan Identifikasi dalam upaya pembuktian bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana, sedangkan Peran Departemen Perhubungan berada dalam
tataran Regulator Transportasi Nasional. Dengan pemberlakuan PP ini pula
merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh fungsi teknis Polisi Lalu
Lintas yaitu dapat memberi masukan kepada kas negara melalui biaya administrasi
yang dipungut atas pelayanan Polri kepada masyarakat berdasarkan tarif yang
telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah tersebut.
Polisi Lalu
Lintas Dimasa Mendatang
Pada jaman dahulu tidak ada lampu trafick light (lampu merah, kuning, hijau di
perempatan jalan). Untuk mengatur lalu lintas di perempatan jalan, Polisi
berdiri di tengah-tengah perempatan sambil memutar secara manual kode berjalan
dan berhenti seperti gambar di samping.
Benda berbentuk kotak pada ujung tiang tersebut bertulis “Berjalan” dan
“Berhenti”. Polisi di bawahnya memutar bergiliran kode tersebut melalui tuas
yang ada di bawahnya secara manual untuk mengatur lalu lintas. Sebuah payung
sekedarnya, sedikit membantu untuk menghindari panas dan rintikan hujan.
Pekerjaan tersebut memerlukan dedikasi, ketanggapan dan kejelian. Bagi mereka,
menjadi petugas dalam mengamankan arus lalu lintas, merupakan sebuah kebanggaan
yang dijalankan secara ikhlas. Dari sini kita bisa membayangkan betapa mulianya
amal perbutan tersebut.
Jaman terus berganti, kini rambu-rambu lalu lintas di perempatan jalan bekerja
secara otomatis dengan adanya lampu trafick light. Meskipun begitu, nilai jaman
dahulu tidak jauh berbeda dengan jaman sekarang, Polisi masih diperlukan di
perempatan jalan untuk mengatur lalu lintas dan masyarakatnya. Meskipun
sekarang Polantas di perempatan bekerja lebih mudah, akan tetapi semangat
pengabdian yang ikhlas pada jaman dulu harus tetap bersemi pada setiap anggota
Polisi pada setiap masanya baik dulu, kini dan yang akan datang. Sehingga
mereka sadar, bahwa ini merupakan pekerjaan yang mulia dan bernilai pahala di
sisi-Nya apabila dikerjakan dengan tulus ikhlas.
Perkembangan dan kemajuan dibidang lalu lintas khususnya transportasi darat
yang demikian pesat, telah berdampak menurunnya kualitas Kamtibcar Lantas
dijalan, sebagai akibat digunakannya jalan sebagai sarana penunjang mobilitas
masyarakat sehingga tidak sesuai dengan fungsi jalan tersebut termasuk di
dalamnya penyimpangan terhadap fungsi jalan. Hal ini juga akibat dari
berkembangnya tingkat kehidupan masyarakat serta perubahan-perubahan yang
terjadi sesuai dengan perkembangan jaman sehingga hal ini dapat menimbulkan
berbagai jenis ancaman Kamtibcar lantas bagi pemakai jalan.
Menghadapi ancaman Kamtibcar lantas tersebut, maka aparat penegak hukum dalam
hal ini Polri bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pengawasan dan
pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan yang optimal sehingga mampu
menanggulangi ancaman kamtibcar lantas terutama di kota-kota besar, pentingnya
sarana jalan dikota besar mendapat prioritas dalam penanggulagan ancaman
Kamtibcar Lantas, dikarenakan perkotaan mempunyai nilai strategis dan ekonomis
sebagai pusat pemerintahan dan bisnis sehingga berpengaruh terhadap kelancaran
dan keberhasilan pembangunan daerah maupun Pembangunan Nasional disegala
sektor.
Mengantisipasi timbulnya ancaman kamtibcar lantas di kota besar yang nampak
trend perkembangannya dimasa mendatang akan terus meningkat dan bertambah
kompleks, maka pimpinan Polri menetapkan kebijaksanaan bahwa fungsi Kepolisian
di bidang lalu lintas merupakan salah satu aspek dari Core business Polri.
Konsekwensi dari kebijaksanaan tersebut maka seluruh jajaran Polisi Lalu Lintas
(Polantas) sebagai pengemban fungsi lalu lintas harus mampu menunjukkan hasil
tugasnya, sesuai tugas pokok, fungsi dan perannya.
Masalah lalu lintas sangat berkaitan erat dengan berbagai masalah yang mencakup
ke berbagai aspek kehidupan, keterkaitan itu dapat lebih jelas terlihat apabila
perhatian lebih dipusatkan pada salah satu segi, misalnya dalam hal
penanggulangan kemacetan lalu lintas sehingga masalah kemacetan ini menjadi
perhatian pemerintah dan masyarakat.
Mengatasi masalah kemacetan lalu lintas, tidak mungkin dapat dilakukan secara
mendadak atau hanya melalui salah satu bentuk upaya kegiatan saja, misalnya
tindakan tegas kepada semua pelanggar aturan lalu lintas, baik dalam bentuk
operasi Kepolisian, maupun kegiatan rutin dengan sasaran pelanggaran terhadap
ketentuan perundang-undangan Lalu Lintas seperti yang diatur dalam pasal-pasal
tilang yang kita kenal selama ini.
Selamat HUT
POLANTAS.
22 September 1955 – 22 September 2014
22 September 1955 – 22 September 2014
***
0 komentar:
Posting Komentar