KEDUDUKAN POLRI DAN SYSTEM KEPOLISIAN
DI ERA DEMOKRASI
Pendahuluan
Beberapa saat yang lalu insan Bhayangkara dikagetkan
dengan adanya gugatan terhadap pasal 8 dan pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas kedudukan Polri
yang langsung di bawah Presiden, dimana gugatan tersebut didaftarkan ke
Mahkamah Konstitusi oleh Pihak penggugat yang merupakan advokat yakni, Andi M
Asrun, Dorel Amir, dan Merlin. Walaupun pada akhirnya gugatan dicabut, namun
hal ini menyadarkan setiap anggota Polri bahwa kedudukannya langsung di
bawah Presiden dapat berubah hanya dengan satu ketokan palu hakim konstitusi di
Mahkamah Konstitusi. Namun apabila disadari bahwa wacana mereposisi kedudukan
Polri bukan hanya terjadi pada saat itu saja. Sebelumnya wacana-wacana reposisi
Polri sudah banyak didengungkan oleh para pejabat-pejabat elit negara ini.
Apalagi sejak mulai adanya pembahasan RUU Kamnas, reposisi Polri juga menjadi
salah satu bahasannya. Kasus terakhir yang mencuatkan kembali wacana ini adalah
kasus pengamanan perebutan lahan di Mesuji dan pembubaran aksi blokir pelabuhan
di Bima yang memakan korban jiwa. Polri dianggap sebagai institusi yang super
power dengan membela kepentingan pemerintah. Kekuasaan Polri dipandang sangat
besar dengan kedudukannya di bawah Presiden sehingga seolah-olah menjadi alat
kekuasaan penguasa dan tidak memiliki sense of crisis terhadap
permasalahan yang ada di masyarakat.
Sistem kepolisian suatu negara tidak terlepas dari
sejarah panjang perjalanan suatu negara tersebut. Sebagaimana kita
ketahui bahwa sejak Polri terpisah dari ABRI dan langsung kedudukannya di bawah
Presiden, Polri memiliki tugas dan kewenanangan yang cukup luas sekaligus
tanggung jawab yang besar dan berat. Tentunya kewenangan tersebut membawa
konsekwensi positif maupun negatif baik secara internal Kepolisian maupun
ekternal yang berasal dari instansi lain dan masyarakat. Konsekwensi positifnya
yaitu Polri memliki kewenangan yang luas sehingga dapat melaksanakan tugasnya
secara independen dan tidak terbatas. System Kepolisian dalam ketata negaraan
harus dapat menjawab tantangan masa depan dalam kecendrungan lingkungan
strategis yang meliputi fenomena global, regional dan nasional berikut
implikasinya terhadap kehidupan nasional dengan berbagai tantangan tugas berupa
gangguan keamanan dalam negeri yang kompleks baik bentuk, kualitas dan
mobilitasnya serta berkait dengan segenap aspek kehidupan bangsa yang menuntut
keberadaan sosok Polri yang profesional dan memiliki jati diri yang konsisiten
serta mampu menjawab tantangan masa depan.
Kedudukan Polri
Polri merupakan salah satu alat negara yang memiliki
kedudukan paling problematik. Sesuai dengan fungsi dan perannya, kedudukan
Polri harus di tempatkan dalam posisi yang independen. Namun disisi lain
apabila independensi kedudukan Polri salah dalam penataan systemnya maka Polri
dapat menjelma menjadi institusi yang super power karena tugas dan
kewenangannya yang begitu luas. Di banyak negara demokratis, posisi
Polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah
departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementrian
sendiri yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri. Namun setiap
negara memiliki karakteristik dan kondisi keamanannya masing-masing sehingga
format dan corak serta sistem Kepolisian di suatu negara juga berbeda. Yang
terpenting dalam kedudukan Polri adalah bagaiman membangun paradigma tentang
akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di manapun Polri akan
terukur sejauh mana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya
peluang untuk tetap di posisi seperti sekarang besar peluangnya selama
pengawasan yang aktif dapat dilakukan.
Dalam UUD Negara RI 1945 sesungguhnya tidak
ditegaskan tentang posisi kelembagaan Polri di bawah Presiden. Dalam pasal 30
ayat 5 hanya mengatur bahwa kedudukan Polri dan TNI diatur lebih lanjut dengan
UU. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tantang Polri yang meletakan kedudukan
Polri di bawah Presiden. Apalagi jika merujuk pada TAP MPR RI No. VI/MPR/2000
tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran
TNI dan Polri, disebutkan bahwa Polri adalah alat negara, dan ditegaskan berada
di bawah Presiden. Polri dengan kedudukannya yang cukup strategis tersebut
mengakibatkan Polri menjadi institusi yang selalu menjadi sorotan baik mengenai
keberhasilan maupun kesalahannya. Nama Kepolisian Negara kadang-kadang disalah
artikan oleh insan-insan Polri, karena Negara hanya diartikan sebagai
pemerintah saja, padahal Negara terdiri dari Pemerintah, rakyat/masyarakat,
wilayah dan kedaulatan sehingga pengabdian Polri tidak hanya untuk Pemerintah
saja namun yang terpenting adalah pengabdiannya kepada masyarakat.
Kesalahan-kesalahan seperti kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri,
pelanggaran HAM, kesalahan dalam proses penegakan hukum, prilaku negatif
anggota dilapangan tersebut akan selalu dikaitkan dengan kedudukan yang dapat
menyebabkan Polri melakukan abuse of power. Kedudukan Polri akan selalu
dijadikan kambing hitam terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan Polri.
Wacana reposisi akan selalu dihembuskan untuk ‘menebus’ setiap kesalahan yang
dilakukan oleh Polri.
Harus disadari ada beberapa kelemahan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentanng Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang dapat menjadi celah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan
:
- UU
Polri tidak secara ekplisit menegaskan bahwa anggaran Polri berasal dari
APBN, kecuali penegasan bahwa anggaran Kompolnas, sehingga dapat diduga
bahwa sumber anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah
Polri dalam akuntabilitas dan transfaransi pemanfaatan anggaran.
- Terdapat
tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri. Selain sebagai penyelenggara
operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai kebijakan non operasional
yang menentukan kebijakan strategis penyelenggaraan fungsi kepolisian
negara. Dengan demikian ketentuan dalam UU no 2/2002 yang menyatakan
Kapolri memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan teknis operasional,
dalam kenyataannya lebih luas.
- Dalam
pasal 38 UU no 2/2002 tentang Polri yang mengatur Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas) dikatakan bahwa tugas Kompolnas a) Membantu Presiden
dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan; b) Memberi pertimbangan kepada
presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Tugas Kompolnas
yang seharusnya cukup strategis itu dalam kenyataannya masih jauh dari
harapan. Kompolnas belum dapat memainkan peranan secara signifikan.
Kompolnas seolah-olah masih sebatas pembantu Presiden yang hanya
dapat melaporkan kepada Presiden mengenai hal-hal yang berkenaan dengan
Polri dan tidak dapat melaksanakan intervensi operasional secara langsung.
Bahkan apabila dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Kompolnas dapat
berjalan dengan baik masih belum memadai sebagai kontrol operasional
terhadap Kapolri.
- Polri sebagai
Polisi Nasional menyebabkan daerah enggan memberikan bantuan ataupun
subsidi lainnya kepada institusi Polri. Hal ini terkait dengan tidak
adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen Polri kepada Kepala
Daerah, sehingga Polri di daerah terintegrasi dalam konektivitas
kelembagaan, dan Polri secara institusi akan mendapat dukungan anggaran
operasional di daerah.
Posisi dibawah Presiden seharusnya merupakan letak
pertanggung jawaban secara manajemen, karena secara operasional Polisi secara
universal harus independent, bebas tanpa dikendalikan oleh suatu kekuatan
apapun, begitu pula seharusnya dengan Polri. Dengan kedudukan langsung di bawah
presiden, Polri memosisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan,
dan operasional sekaligus, yang memang harus diakui atau tidak merupakan suatu
kondisi yang tidak tepat bagi tata pemerintahan yang baik (good governance).
Kelemahan-kelemahan positioning Polri tersebut akan selalu menjadi pokok
bahasan publik tentang perlu tidaknya dilakukan reposisi terhadap Polri.
Usulan pengalihan posisi Polri di bawah Kementerian
Pertahanan jelas tidak relevan mengingat kesejarahan pemisahan TNI dan Polri
justru karena dalam rangka memisahkannya dari peran-peran pertahanan yang
menjadi domain TNI. Sementara usulan di bawah Kemendagri, juga tidak menjamin
independensi dan profesionalitas seperti yang dibayangkan. Meskipun pengkajian
ke arah reposisi itu penting, tapi tidak bisa gegabah dilakukan apalagi dengan
mempertentangkannya secara langsung sebagai pelanggaran konstitusional.
Kemendagri sebagai organ negara di bawah Presiden juga tidak memberikan jaminan
bagi independensi dan profesionalitas. Apabila Polri di posisikan di bawah
suatu departemen maka seluruh anggota Polri akan terikat pada norma-norma yang
bersifat hierarkis. Prinsip diskresi dan independen yang dimiliki oleh seorang
anggota Polisi akan hilang. Ia tidak akan berani menangkap bahkan
memeriksa atasan dalam departemennya apalagi pejabat birokrasi pada departemen
lain. Padahal Polisi yang Universal adalah Polisi yang merupakan komponen
masyarakat yang bekerja berdasarkan prinsip diskresi.
Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa kajian
terhadap reposisi Polri perlu mendapat perhatian tersendiri dengan maksud
menempatkan kedudukan Polri yang tepat dimana Polri harus benar-benar sebagai
institusi yang independen secara operasional namun secara manajemen penentuan
kebijakan strategis Polri harus diatur kembali agar Polri juga tidak berubah
menjadi intitusi yang full power karena tugas dan kewenangannya sehingga
dapat menyebabkan timbulnya abuse of power. Kalaupun situasi
seperti sekarang tetap dipertahankan, Polri akan selalu disibukan untuk
melakukan counter opinion untuk mempertahankan kedudukannya, sehingga
energi yang seharusnya dihabiskan untuk melaksanakan fungsi dan perannya akan
habis untuk hanya untuk membahas masalah tersebut.
Berdasarkan banyak argumen yang berkembang dapat
ditarik dua kesimpulan pilihan untuk mensikapi permasalahan kedudukan Polri
yaitu yang pertama melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 terhadap kedudukan Polri dengan menempatkan di bawah departemen pemerintah
dan yang kedua adalah memperkuat kedudukan Kompolnas. Secara teknis dan politis
pilihan yang kedua lebih masuk akal. Dalam system Kepolisian, posisi Kompolnas
memiliki fungsi yang sangat penting bukan hanya sebagai institusi yang
mereprentasikan pemerintah juga mewaliki kepentingan rakyat yang memegang kunci
dalam cek and balance agar fungsi Kepolisian dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Kompolnas dapat memainkan fungsi sentral strategis yang dapat
menghubungkan Polri, Pemerintah dan rakyat/warganegara.
Dalam pasal 38 UU no 2/2002 tentang Polri yang
mengatur Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dikatakan bahwa tugas Kompolnas
a) Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan; b) Memberi
pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Kemudian dalam melaksanakan tugasnya Kompolnas berwenang untuk ;a) mengumpulkan
dan menganalisa data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkait
dengan anggaran Polri, pengembangan sumber daya manusia Polri dan pengembangan
sarana dan prasarana Polri; b) memberikan saran dan pertimbangan lain kepada
Presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri; c) menerima
saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Kepolisian dan menyampaikan
kepada Presiden. Pengembangan terhadap penguatan Kompolnas merupakan hal
krusial sehingga dapat melakukan pengawasan bersifat administrasi kepada Polri.
Salah satu bentuknya, Kompolnas akan diberi wewenang pemeriksaan internal di
kepolisian. Selama ini, pemeriksaan internal di tubuh kepolisian dipimpin
Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri. Semua kebijakan strategis dalam
menajemen dan administrasi harus melalui keputusan kolektif oleh anggota
Kompolnas, sehingga secara otomatis Kapolri hanya melaksanakan keputusan
strategis secara operasional saja.
Susunan dan komposisi keanggotaan Kompolnas saat ini
sudah tepat dalam mereprentasikan perwakilan pemerintah, Kepolisian dan
masyarakat. Keanggotaan Kompolnas terdiri dari 9 anggota yang terdiri dari
Seorang ketua merangkap anggota dijabat oleh Menkopolhukan, Wakil Ketua
merangkap anggota yang dijabat oleh Mendagri dan Menkum dan Ham, Sekretaris
merangkap anggota, dan 6 (enam) orang anggota. 3 (tiga) orang dari unsur
pemerintah, 3 (tiga) orang pakar kepolisian dan (tiga) orang tokoh masyarakat.
Karena Mendagri merupakan salah satu anggota Kompolnas, maka Kompolnas
diberikan wewenang untuk menunjuk Kepala Daerah (Gubernur dan Walikota) sebagai
perwakilannya didaerah yang diberi kewenangan untuk melakukan kontrol yang
bersifat administrasi (administrasi control) terhadap Kepolisian yang berada di
daerah yuridiksinya.
System Kepolisian (Sentralisasi dan Desentralisasi)
Secara universal peran Polisi dalam kehidupan
masyarakat dirumuska sebagai penegak hukum (law enforcement officer),
pemelihara ketertiban (order enforcement officer) dan pembasmi kejahatan
(crime fighter). Seperti halnya aspek-aspek lain dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sistem kepolisian pada awalnya juga mengacu kepada dua
model. Pertama adalah model Eropa-kontinental dan kedua adalah model
Anglo-Saxon. Model kontinental bercirikan kepolisian negara yang disusun secara
sentralistik yang bercirikan autoritarian dengan menyandang kewenangan luas
untuk mengatur sejumlah aspek kehidupan sosial. Model Anglo-Saxon memandang
bahwa kepolisian merupakan kekuatan atau lembaga sosial yang tumbuh dan
berkembang dari dan oleh masyarakat (lokal) itu sendiri. Karena itu lembaga
kepolisiannya disusun secara desentralistik. Di negara demokratis sistem
kepolisian dibagi dalam 3 model yaitu :
- Fragmented
System of Policing (Sistem kepolisian terpisah atau berdiri
sendiri) : Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa
system, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu
organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem
ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland,
Amerika Serikat.
- Centralized
System of Policing (Sistem Kepolisian Terpusat). Berada langsung
dibawah kendali pemerintah secara tersentral. Negara-negara yang menganut
system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan,
Irlandia, Denmark, Swedia.
- Integrated
System of Policing (Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga system
desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system
control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari
penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan
seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah
Jepang, Australia, Brasil, dan Inggris.
Polri yang menurut UU no 2/2002 merupakan Kepolisian
Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan perannya. Kepolisian
Naional dalam system Kepolisian termasuk dalam sistem Kepolisian Terpusat (Centralized
System of Policing). Sistem Kepolisian yang bersifat Nasional merupakan
pemilihan sistem Kepolisian yang tepat bagi Polri karena saat ini memang tren
sistem Kepolisian di dunia mengarah pada Centralized System of Policing.
Hal ini disebabkan karena perkembangan kejahatan dan keamanan yang semakin
menghilangkan batasan antar wilayah (boarderless country). Ini dapat
dilihat dari perkembangan sistem kepolisian di Amerika Serikat yang menganut
sistem Fragmented namun saat ini akibat dari perkembangan keamanan dan
kejahatan yang memerlukan sistem kordinasi terpusat, AS membentuk badan-badan
kepolisian pada tingkat negara bagian dan federal yang mengadopsi prinsip
sentralistik. Selain itu sistem Sentralistik merupakan pilihan karena system
hukum Indonesia menganut sistem hukum Nasional.
Namun sesuai dengan situasi dan kondisi kewilayahan
yang di Indonesia dimana terdapat keragaman budaya, kebiasaan, adat istiadat
dan nilai-nilai yang berkembang sehingga struktur organisasi Polri bersifat
Nasional namun prediksi dan antisipasi Polri dalam pelaksanaan setiap peran,
tugas, maupun misinya harus dilakukan dan terarah pada pendekatan keamanan (Scurity
Approach) di setiap daerah hukum masing-masing dan dalam hal ini bukan
berdasarkan pada pendekatan administrasi dan pemerintahan (Government
Institution Approach) yang menjadi kecenderungan pemerintah daerah
masing-masing.
Semangat Otomomi daerah seharusnya juga memberikan
warna dalam proses dan mekanisme pelimpahan dan atau penyerahan beberapa
kewenangan fungsi tugas kepolisian dari pihak Mabes Polri ke kesatuan-kesatuan
kewilayahan Polri secara hirarkhis atau berjenjang (Polda, Polretabes,
Polres/Polresta, maupun Polsek) dalam bentuk desentralisasi. Kepolisian daerah
hendaknya diberikan keleluasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri
terutama dalam pengelolaan sumber daya dan pengaturan program keamanan yang
disesuaikan dengan kondisi dan situasi masing-masing wilayah. Secara
tidak sadar Polri telah menerapkan sistem desentralisasi melalui pendelegasian
kewenangan kewilayahan melalui kesatuan-kesatuan wilayah seperti Polda, Polrestabes,
Polres/Polresta, maupun Polsek). Untuk menciptakan kondisi ini maka setiap
satuan kewilayahan Polri di seluruh tingkatan untuk mampu menyiapkan
konsepsi yang berisikan wawasan (dialektika) maupun kultur tindakan
(etika) guna memprediksi dan mengantisipasi berbagai problema yang bersangkutan
dengan kebijakan pembentukan dan penerapan otonomi daerah di wilayah
maisng-masing. Oleh karena itu makna mewujudkan profesional dan kemandirian
Polri hendaknya dapat direalisasikan secara proporsional, efektif, dan efisien
sesuai dialektika dan etika otonomi daerah.
Format antisipasi Polri terhadap makna otonomi daerah,
diperinci antara lain adalah menyangkut aspek sharing of power,
maupun checks and ballances dalam proses pelimpahan dan atau pembagian
kekuasaan dan atau kewenangan kepolisian dan Pemerintah Pusat (Mabes Polri)
kepada Pemerintah Daerah (Polda, Polresltabes, Polres/Polresta, Polsek) kiranya
dapat dilakukan dengan berdasarkan prinsip-prinsip pendelegasian kekuasaan dan
atau kewenangan yang terkandung dalam semangat otonomi daerah di Indonesia,
yaitu: prinsip desentralisasi yang diwujudkan dengan prosedur dan mekanisme
pelimpahan beberapa kewenangan fungsi Kepolisian yang selama ini langsung
dilaksanakan oleh unsur-unsur unit kerja di lingkungan Mabes Polri kepada
pelaksana fungsi kepolisian di satuan-satuan kewilayahan dengan disertai
dukungan pendanaan dari sumber anggaran dinas Mabes Polri (APBN). Selain itu
dapat diwujudkan dengan prosedur dan mekanisme penyerahan beberapa kewenangan
fungsi kepolisian dalam bidang pembinaan maupun operasional Polri kepada
satuan-satuan kewilayahan Polri dengan dukungan pendanaan dari sumber anggaran
dinas masing-masing kesatuan kewilayahan Polri yang bersangkutan dan atau
diperoleh dari APBD pemerintah daerah setempat. Dengan meniru pola Kepolisian
di Inggris, sejalan dengan kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
pemerintah daerah dapat menyandang sebagian dana kepolisian di daerah khususnya
untuk kepentingan penegakan keamanan di daerah dan peraturan daerah.
Dalam system pengawasan sesuai dengan pola fikir pada
pembahasan kedudukan Polri diatas dimana Kompolnas dapat menunjuk Kepala Daerah
(Gubernur dan Walikota) sebagai perwakilannya di daerah yang diberi kewenangan
untuk melakukan kontrol yang bersifat administratif (administratif control)
terhadap Kepolisian yang berada di daerah yuridiksinya. Melalui mekanisme yang
disepakati bersama, Kepala Daerah diberikan wewenang dalam mengamati dan
meminta pertanggungjawaban masalah pelaksanaan tugas Kepolisian dalam
pelaksanaan program keamanan umum ditingkat propinsi. Selain itu Kepala daerah
juga dapat meminta pertangungjawaban masalah penggunaan anggaran yang diberikan
melalui APBD. Selama ini Kepala daerah melalui persetujuan DPRDnya dapat
memberikan anggaran kepada Kepolisian di daerah namun tidak ada kewenangan
secara formal untuk meminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan anggaran
tersebut. Melalui kewenangan fungsi pengawasan terbatas yang dimiliki oleh
Kepala Daerah diharapkan Kepala Daerah juga memiliki hubungan emosional dengan
lembaga Kepolisian walaupun secara struktural tidak ada. Dengan adanya hubungan
seperti ini Kepala Daerah juga diharapkan dapat memberikan bantuan anggaran
yang berasal dari APBD kepala kepolisian daerah tanpa takut untuk menyalahi
prosedur dan dapat mengontrol program keamanan umum guna tercapainya tujuan
penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang tentunya akan berakibat positif terhadap
perkembangan daerah setempat. Diharapkan dengan dengan pola-pola pemikiran
tersebut, kepolisian di daerah mendapat dukungan dari masyarakat lokal
sekaligus dapat menjadi kontrol dalam pelaksanaan tugas demi keberhasilan
fungsi dan peran Polri di dalam masyarakat.
Penutup
Sesuai dengan perkembangan demokrasi di Indonesia,
system dan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan hal yang
perlu mendapat pengkajian serius sehingga dapat mewujudkan Polri yang
Profesional. Polri harus diletakan pada kedudukan yang independen dan terbebas
dari intervensi kekuasaan manapun, namun disatu sisi karena tugas dan
kewenangan Polri yang begitu luas diperlukan suatu system pengawasan dan
pertanggungjawaban yang tepat untuk menghindari Polri menjelma menjadi kekuatan
yang super power dan super body yang berakibat dapat terjadi abuse of power.
Kedudukan Polri di bawah presiden saat ini di pandang masih relevan sebagai
wadah pertanggungjawaban Polri secara administrasi dan manajemen. Namun
Presiden disadari tidak hanya mengurusi masalah Polri saja sehingga di perlukan
suatu Lembaga yang dapat memainkan peran strategis dalam pengawasan terhadap
Polri. Kompolnas merupakan lembaga yang merupakan representasi dari perwakilan
pemerintah, kepolisian dan masyarakat yang dapat dijadikan sebagai lembaga
independen sebagai penentu kebijakan strategis Polri dalam bidang manajemen dan
administrasi. Secara otomatis Polri dalam hal ini Kapolri hanya mengambil
kebijakan strategis dalam bidang operasional Polri saja. Dilihat dari
pentingnya posisi Kompolnas, perlu dilakukan penguatan-penguatan terhadap tugas
dan kewenangan Kompolnas terhadap Polri. Salah satunya adalah diberikan
kewenangan Kompolnas dalam pemeriksaan secara internal terhadap institusi Polri
yang selama ini hanya dilakukan secara internal oleh Inspektorat Pengawasan
Umum Polri.
Dalam sistem kepolisian Indonesia yang menganut
Kepolisian Nasional (Sentralistik) merupakan sistem yang tepat sesuai dengan
perkembangan keamanan yang semakin berkembang dan mengglobal.. Selain itu
sistem kepolisian juga disesuaikan dengan sistem hukum yang dianut di Indoneia
yaitu menganut sistem hukum nasional. Namun sesuai dengan situasi dan kondisi
kewilayahan yang di Indonesia dimana terdapat keragaman budaya, kebiasaan, adat
istiadat dan nilai-nilai yang berkembang sehingga dalam pelaksanaan setiap
peran, tugas, maupun misinya harus dilakukan dan terarah pada pendekatan
desentralistik. Format desentralistik dapat menyangkut aspek sharing
of power, maupun checks and ballances dalam proses pelimpahan
dan atau pembagian kekuasaan dan atau kewenangan kepolisian dan Pemerintah
Pusat (Mabes Polri) kepada Pemerintah Daerah (Polda, Polresltabes,
Polres/Polresta, Polsek) kiranya dapat dilakukan dengan berdasarkan
prinsip-prinsip pendelegasian kekuasaan dan atau kewenangan yang terkandung
dalam semangat otonomi daerah di Indonesia. Pola pengawasan sistem ini dapat
berupa pendelegasian kewenangan pengawasan oleh Kompolnas kepada kepala daerah
dalam pengawasan atatu kontrol yang bersifat administrasi baik dalam
pertanggungjawaban anggaran yang berasal dari APBD juga terhadap program
keselamatan umum yang di terapkan di daerah.
DAFTAR BACAAN
Mohamad Farouk, 2005, Menuju Reformasi Polri,
Jakarta, PTIK Press
Sulisyto Hermawan, 2009, Keamanan Negara
Keamanan Nasioanal dan Civil Society, Cetakan Pertama, Jakarta, Grafika
Indah
Wresniwiro dan Haris Sumarna, 2000, Membangan
Polisi Profesional, Jakarta, Mitra Bintibmas.
Indarti Erlyn dkk, 2010, Reformasi Polri Dalam
Konteks Potensi, Kompetensi dan Performasi Kepolisian, Jakarta,
Kompolnas
Muhammad Farouk dkk, 2008, Laporan Hasil Studi
Banding Tentang Kebijakan Pengelolaan Keamanan Negara, Jakarta
Mohamad Farouk, 2007, Mencari Rumah Baru Untuk
Polri, Jakarta, Media Indonesia
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar