PROFIL
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
KEDEPAN
DENGAN KONSEP
GOOD
GOVERNANCE
Pendahuluan
Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan
untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa
bernegara. Dalam rangka itu diperlukan pengembangan dan penerapan system
pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan legitimate, sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dapat berlansung secara berdayaguna,
berhasilguna,bersih dan bertanggunggjawa, serta bebas korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Wacana good
governance mulai mengemuka sekitar tahun 1998-an seiring jalannya reformasi,
yang merupakan salah satu konsekuensi reformasi didalam sistem pemerintahan.
Secara gampangnya good governance dapat dipahami secara reduksionistik,
yaitu tata pemerintahan yang baik. Namun definisi good governance
diatas terlalu sederhana untuk dipahami dan untuk menjawab bagaimana
pemerintahan yang baik itu diwujudkan. Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
sekitar apa itu good governance, maka secara luas good governance
dapat didefinisikan sebagai sejumlah nilai, kebijakan, dan institusi untuk
menata ekonomi, politik, dan sosial melalui kerjasama pemerintah, masyarakat
sipil, dan dunia usaha, serta mempunyai delapan karakteristik utama, yaitu :
Partisipasi,
yang berarti seluruh bagian dari masyarakat terlibat dalam pengambilan
keputusan melalui organisasi yang terbuka dengan jaminan hak untuk berasosiasi
serta mengekspresikan pendapat.
Aturan hukum,
yang bermakna ditegakkannya hukum secara adil dan tidak memihak, aparat hukum
independen, aparat kepolisian tidak korup, serta perlindungan hak-hak asasi
manusia.
Transparasi,
yang berarti keputusan dan pelaksanaannnya dilakukan dengan mengikuti aturan
serta ketersediaan informasi yang dapat diakses semua pihak.
Keresponsifan,
yang berarti semua institusi dan proses yang melayani kepentingan semua pihak
dijalankan dalam kerangka waktu yang jelas.
Berorientasi
pada konsensus, yang bermakna ada mediasi bagi kepentingan-kepentingan yang
beragam dalam masyarakat sehingga tercapai kesepakatan.
Kesederajatan
dan keinklusifan yang mengandaikan seluruh elemen masyarakat terlibat serta
memiliki peluang setara untuk mengambil keputusan.
Keefektifan dan
keefesienan, yang berarti proses dan berbagai lembaga mampu memproduksi hasil
yang dapat memenuhi kebutuhan semua pihak dengan memperhatikan perlindungan
lingkungan alam.
Pertanggungjawaban,
yang berarti lembaga-lembaga pemerintahan, sektor swasta, dan organisasi
masyarakat sipil harus memberikan pertanggungjawaban kepada publik.
Pembahasan
Profil
Kepolisian Negara RI kedepan dalam menyikapi tuntutan konsep good
governance haruslah dilakukan secara nyata bukan hanya slogan yang terus
didengung-dengunkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak butuh janji, yang
dibutuhkan adalah sikap nyata Polri dalam mereformasi dirinya sebagai salah
satu institusi yang bertanggung jawab dalam menciptakan good governance. Tolak
ukur dalam keberhasilan Polri secara umum dapat dilihat dalam lima hal, yaitu
bertambah profesional, independen atau otonom, representatif, akuntabel serta
demokrasi. Untuk mencapai tolak ukur keberhasilan Polri tersebut perlu suatu
perencanaan strategic yang disusun harus mencakup:
1)
Uraian tentang visi, misi, strategi, dan factor-faktor kunci keberhasilan
Polri.
2)
Uraian tentang tujuan, sasaran, dan aktivitas organisasi.
3)
Uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran dengan memperhatikan tugas
pokok Polri dan fungsi instansi bersangkutan.
Disamping itu yang
harus diperhatikan Polri dalam rangka membentuk profil Polri kedepan
dengan menggunakan konsep good governance dapat dicermati dalam tiga aspek,
yaitu:
Aspek
struktural.
Reformasi
struktural menyangkut posisi dan hubungan kelembagaan Polri dalam konteks
ketatanegaraan. Hal yang paling mendasar menyangkut aspek struktural ini adanya
perubahan kedua UUD 1945 pasal 30, TAP NO VI/ MPR/2000 tentang Pemisahan
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan TAP NO
VII/ MPR/ 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia serta UU NO 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Dalam reformasi struktural ini relatif selesai, namun
independensi Polri sebagai lembaga penegak hukum merupakan area yang sensitif
dari dahulu, sekarang dan kedepan. Ini terbukti pada awal tahun ini dimana
Menhan Juwono Sudarsono yang hendak mengakuisisi Polri kedalam Dephan dalam
rangka RUU Hankamneg. Meski segera diklarifikasi, tiap ide yang mencoba menggiring
kembali institusi kepolisian kedalam zona militer akan dianggap sebagai langkah
mundur bagi perwujudan good governance.
Aspek
instrumental
Aspek
instrumental ini menyangkut aneka sistem dan prosedur, kebijakan dan petunjuk
maupun manual yang perlu dirubah sehubungan pemisahan Polri dari TNI menjadi
organisasi sipil. Yang perlu dirubah dan diciptakan mulai dari kode etik
profesi polisi, bahan-bahan ajaran yang berbau militeristik, petunjuk teknis
pelaksanaan tugas dan sebagainya.
Dalam konteks
penegakkan hukum, Polri harus lebih menjadi pengendali kejahatan ketimbang
penumpas kejahatan, yaitu dengan mengembangkan konsep Community Policing yang
melibatkan masyarakat secara aktif dalam pencegahan kejahatan.
Aspek kultural
Aspek kultural
menyangkut perubahan sikap dan prilaku anggota Polri dari yang sebelumnya
disepakati sebagai cenderung militeristik, arogan, gemar kekerasan dan tidak
mau dikontrol harus dirubah menjadi Polri yang melindungi, mengayomi dan
melayani masyarakat secara tulus dan ikhlas. Berbeda dengan dua aspek
sebelumnya yang tercatat berbagai kemajuan, terhadap aspek kultural ini
situasinya jalan ditempat. Kesulitan mengubah mental dan prilaku bawahan salah
satunya adalah hampir tidak ditemukan model yang dapat dicontoh aspek-aspek
positifnya.
Kesimpulan
Kelemahan dari pendekatan Polri melalui tiga aspek tersebut adalah tidak adanya
parameter atau indikator keberhasilan. Agar konsep good governance dapat
dilaksanakan secara menyeluruh dan reformasi Polri tidak mandek, stagnan bahkan
mundur kembali, ada baiknya diadakan kombinasi pada tingkat konseptual,
dilanjutkan dengan implementasi tentunya. Untuk menjalankannya tentu saja
memerlukan manajemen yang cocok untuk diterapkan pada organisasi Polri.
Policing By Objective/PBO (Pemolisian berorientasi Pencapaian Sasaran) sebagai
manajemen, sangat tepat untuk dijadikan acuan bagi organisasi Polri. PBO adalah
proses manajemen yang didesentralisasi secara luas, seluruh pimpinan pada
seluruh lapisan atau tingkat dilibatkan dalam semua proses manajemen, dan
sangat sistematis serta hasilnya dapat dihitung. Dengan penggunaan PBO,
diharapkan Polri sebagai salah satu institusi yang menjalankan good governance
dapat melaksanakan tugas-tugasnya berdasarkan hukum dan sesuai harapan
masyarakat, dengan tetap memperhatikan norma-norma dimasyarakat serta
menghormati hak azazi manusia.
0 komentar:
Posting Komentar