Mengapa Kehadiran Polisi
Dibutuhkan...??
Kehadiran institusi polisi dan lembaga-lembaga padanannya
dalam masyarakat dapat dipahami dengan menggunakan beberapa kata kunci, yaitu:
“kepentingan”, “anarki”, dan “kontrol”. Kata-kata kunci ini mencerminkan
alasan-alasan tradisional kehadiran polisi di semua negara di dunia ini, apa
pun sistem ketatanegaraan atau ideologinya.
Tetapi belakangan berkembang beberapa
kata kunci baru, seperti “pemolisian masyarakat”, “kemitraan
polisi-masyarakat”, dan “pemecahan masalah”. Kata-kata kunci baru ini menandai
perkembangan paling mutakhir di bidang pemolisian yang memodifikasi dan melengkapi
konsepsi pemolisian tradisional. Kita memerlukan polisi karena kedua alasan di
atas. Dan keperluan itu mencakup berbagai segi kehidupan, termasuk hubungan di
antara para pemeluk agama yang beragam.Polisi sebagai Penjaga Ketertiban
Manusia, baik sebagai perseorangan
maupun kelompok, dianggap secara naluriah ingin mencapai kepentingan dan tujuan
masingmasing yang berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, manusia ingin
mendapatkan sumberdaya yang langka, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun
politik. Tujuan dan kepentingan tersebut seringkali dapat dicapai dengan
mengikuti aturan dan norma yang ada. Akan tetapi, seringkali tujuan dan
kepentingan tersebut dicapai melalui tindakan-tindakan yang merusak atau
perilaku asosial, baik dalam kehidupan antarpribadi maupun antarkelompok di
masyarakat.
Selaras dengan hal ini, tindakan
melanggar aturan norma dan hukum adalah hal yang alamiah karena setiap orang
berusaha mengejar kepentingan diri sendiri berdasarkan perhitungan-perhitungan
rasional. Lebih lanjut, oleh karena keinginan, kebutuhan, dan aspirasi
perseorangan dan kelompok tersebut tidak dapat dipuaskan, pelanggaran terhadap
aturan dan norma selalu mengancam kehidupan masyarakat.
Sebagai akibat dari kecenderungan di
atas, maka kehidupan sosial manusia selalu ditandai dengan keadaan anarki dan
ketidakpastian. Dalam pandangan Thomas Hobbes, situasi anarki tersebut disebut
situasi alami dan primitif atau state of nature. Dalam situasi tersebut,
benturan kepentingan dan konflik yang keras selalu mengancam kehidupan
masyarakat. Sebagaimana ditegaskan James Rule (dalam Theories of Social Violence
[1988], 19), “karena tidak ada kepastian mengenai tindakan orang lain,
satu-satunya cara menyelamatkan kepentingan dan keamanan pribadi adalah dengan
menyerang terlebih dahulu sebelum diserang orang lain.” Dengan demikian,
pemenuhan kebutuhan pribadi dan kelompok seringkali mengakibatkan terjadinya
benturan, kekacauan, dan konflik di masyarakat.
Supaya perilaku anarkis manusia
berkurang dan kehidupan sosial yang tertib dan aman dapat diciptakan, maka
diperlukan kendala dan kekuatan pemaksa yang ada di lingkungan manusia. Tanpa
kekuatan eksternal (berada di luar diri manusia) yang mengatur naluri merusak
manusia tersebut, kehidupan sosial yang damai tidak mungkin dicapai.
Kendala-kendala eksternal tersebut berfungsi mengatur, membatasi, atau
mengelola perilaku manusia dan menjadi kunci terwujudnya ketertiban masyarakat.
Kekuatan eksternal ini diwujudkan
dalam institusi negara dan aparat-aparatnya yang berfungsi, antara lain,
menjaga ketertiban di masyarakat. Lebih lanjut, institusi pusat seperti negara
perlu memonopoli penggunaan kekerasan supaya otoritasnya dapat ditegakkan.
Pemerintah yang lemah akan menyebabkan kekerasan muncul dan meluas di
masyarakat. Sebaliknya, pemerintah yang kuat akan meredam dan memperkecil
kemungkinan munculnya kekerasan di masyarakat (Rule [1988], 19).
Institusi polisi adalah alat negara
yang terpenting dalam menjamin stabilitas dan ketertiban dalam hubungan antar
pribadi dan kelompok di masyarakat dengan cara apa saja termasuk cara-cara
kekerasan. Polisi diserahi wewenang melakukan manajemen, kontrol, dan koersi
supaya orang mematuhi aturan dan norma yang ada, dan supaya peluang kekerasan
antarpribadi dan kelompok masyarakat dapat diperkecil.
Peran polisi ini dilengkapi dengan
serangkaian instrumen penegakan hukum, seperti undang-undang dan peraturan,
pengadilan, penjara, jaksa, hakim, dan perangkat hukum lainnya. Tatanan dan
sistem pidana pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem
ketatanegaraan. Perlu ditekankan di sini bahwa dalam asumsi filosofis mengenai
eksistensi polisi yang diterakan di atas, peranan pengendalian dan kontrol yang
ditopang koersi sangat penting. Pengurangan kontrol dan koersi akan menimbulkan
pelanggaran aturan dan norma, konflik, dan kekacauan sosial. Sebaliknya,
konflik antarpribadi dan kelompok, begitu pula kekacauan sosial, dipahami
sebagai kegagalan kontrol dan koersi. Jalinan sosial dianggap rapuh dan
ringkih, dapat dirusak oleh tuntutan (demand) yang berlebihan sehingga
harus dikontrol.
Pada gilirannya, hal ini mengarah
kepada penekanan terhadap penegakan hukum dan ketertiban, dan pada apa yang
populer di Indonesia sebagai “pendekatan keamanan”.
Pemolisian Masyarakat
Salah satu inovasi di bidang
pemolisian modern berusaha memodifikasi asumsi filosofis pemolisian di atas.
Inovasi tersebut dikenal dengan istilah community policing yang
diterjemahkan dengan “pemolisian masyarakat” atau “perpolisian masyarakat”.
Inovasi ini, walau belum tersebar merata dan mengakar, sudah juga menjadi
bagian dari filosofi polisi Republik Indonesia. Ada dua pendapat mengenai
asal-usul gagasan pemolisian masyarakat.
Pertama, pemolisian
masyarakat secara radikal berbeda dari pendekatan polisi yang klasik dalam hal
pandangan atau asumsi dasar mengenai manusia. Pemolisian masyarakat ingin
memodifikasi cara pandang mengenai manusia. Asumsinya adalah bahwa ketertiban
manusia dapat dicapai bukan melalui aturan, instrumen pemaksa, dan sanksi
koersif, melainkan dicapai berdasarkan saling-percaya atau trust polisi-masyarakat
dan kemitraan polisi dengan masyarakat di bidang pemolisian— misalnya mengenai
apa yang “dipolisii” dan bagaimana “memolisiinya.” Di lain pihak, menurut
pendapat
kedua, pemolisian
masyarakat sebenarnya masih bertolak dari asumsi lama. Asumsi ini menyatakan
bahwa ketertiban masyarakat bisa dicapai kalau ada aturan yang memaksa manusia
bekerjasama dan membatasi perilakuperilaku asosialnya. Dua penekanan membedakan
pemolisian masyarakat dari konsepsi pemolisian model klasik. Pertama,
pemolisian masyarakat menekankan citra diri polisi sebagai problem solver atau
pemecah masalah, sebagai tambahan terhadap fungsi sebagai penegak hukum (law
enforcer). Perbedaan citra diri ini akan memengaruhi materi pendidikan,
perilaku, mentalitas, dan pola kerjasama polisi dengan masyarakat. Sebagai problem
solver, polisi diharapkan lebih terampil dan peka dalam mengidentifikasi
masalah-masalah yang ada di masyarakat.
Masalah-masalah
sosial tersebut tidak dianggap sebagai tindakan kriminal yang harus diproses
secara hukum pidana, melainkan sebagai persoalan. Sebagai persoalan sosial,
intervensi polisi bertujuan membantu masyarakat yang membicarakan dan
menyelesaikan persoalan tersebut
Oleh :
Catatansibedu.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar