PENGUKURAN
KINERJA POLRI
Pengukuran Efektifitas Keseluruhan
atau Kesatuan Polisi yang Memperlihatkannya
dan Menceritakannya(dikutip dari Tulisan David H. Bayley, www.krisnaptik.blogspot.com)
Pendahuluan
Bab ini membahas
apa yang mungkin disebut pertanyaan sang kepala polisi, yaitu: Bagaimana kita
tahu kapan kepolisian melaksanakan pekerjaan dengan memuaskan? Pertanyaan
inilah yang dicoba dijawab oleh David Couper dalam laporannya tahun 1983 yang
berjudul “Bagaimana Menilai Satuan Kepolisian Lokal Anda,” yang diterbitkan
oleh Police Executive Research Forum. Pertanyaan ini berpusat pada politik
polisi, yang sebagian besar menjad tanggung jawab sang kepala polisi. Kalau
pertanyaan ini tidak terjawab demi kepuasan public dan wakil mereka yang
ditunjuk dan terpilih, maka polisi cenderung tidak akan mendapatkan sumber daya
yang mereka katakan dibutuhkan mereka. Masyarakat ingin kepastian bahwa uang
yang diberikan kepada polisi memang menghasilkan keselamatan yang sangat mereka
inginkan. Walaupun memberikan informasi tentang kinerja kepolisian adalah tugas
penting sang kepala polisi, kebanyakan evaluasi pemolisian tidak menilai
efektifitas keseluruhan lembaga itu. Sebaliknya evaluasi itu berfokus pada
program dan kegiatan tertentu, seperti gangguan pasar obat-obatan, patroli
jalan kaki dan respon gawat darurat. Para pakar dan penilai professional
lainnya malu terhadap penilaian global, mungkin karena penilaian global itu
kelihatannya terlalu luas dan sulit. Penilaian kinerja sebuah satuan kepolisian
secara umum lebih dari sekedar masalah teknis pemilihan criteria dan metodologi
ukuran yang tepat; hal ini melibatkan keputusan controversial tentang apa yang
harus dilakukan polisi dan bagaimana mereka harus melakukannya.
Tanpa
mengabaikan kurangnya perhatian terhadap penilaian kinerja umum satuan
kepolisian, saya percaya bahwa keefektifan lembaga kepolisian akan semakin
menjadi sebuah masalah. Tentu saja tekanan atas sebuah penilaian kelembagaan
tentang pemolisian semakin berat sehingga pertanyaannya, menurut pendapat saya,
bukanlah apakah polisi akan melibatkan diri dalam penilaian kinerja, tetapi
ketika saya mengemukakan hal ini karena empat alasan:
Masyarakat umum
sepertinya percaya bahwa kejahatan meningkat dan bahwa hanya sedikit yang bisa
dilakukan polisi atau CJS untuk menangani hal ini. Pengumpulan pendapat terakhir
menunjukkan bahwa kejahatan adalah masalah nomor satu orang Amerika (New York
Times, Februari 23, 1994). Masyarakat tidak hanya takut, tetapi kepercayaan
mereka terhadap penegakan hokum juga telah merosot (Reiner 1992; Shearing 1993;
Grabosky 1992). Indikasi lain tentang penurunan keyakinan terhadap polisi
adalah bahwa jumlah personil keamanan pribadi sangat meningkat. Polisi sector
public kehilangan “pangsa pasar.” Masyarakat juga semakin banyak melakukan
hal-hal untuk melindungi diri mereka, seperti memperkuat pertahanan rumah
mereka dan membentuk pengawas blok dan patrol warga. Walaupun polisi bertekat
bahwa mereka akan mengendalikan kejahatan jika mereka diberikan sumber daya
yang lebih banyak, namun masyarakat tidak menerima janji ini semudah seperti
sebelumnya. Opini masyarakat tentang polisi kelihatannya hamper kontradiktif.
Masyarakat menyuarakan dukungan yang kuat atas penambahan jumlah polisi, tetapi
mereka melakukan tindakan yang seolah-olah mereka tidak lagi menganggap bahwa
polisi bisa melakukannya pekerjaan mereka secara memadai.
Pemerintah pada
semua level berada dalam tekanan untuk melakukan penghematan. “Lakukan hal yang
lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit” telah menjadi kata-kata
popular pada semua level pemerintahan Amerika. Akibatnya pemerintah melakukan
audit dan prosedur pengawasan yang baru untuk memastikan bahwa pemerintah
menggunakan anggaran secara efesien dan efektif. Salah satu caranya dalah
meminta polisi untuk mengembangkan “indicator kinerja” untuk digunakan dalam
menilai kegiatan polisi.
Para pimpinan
polisi semakin yakin bahwa manajemen yang baik melibatkan evaluasi program. Dua
decade yang lalu, evaluasi atas pekerjaan polisi masih sangat jarang. Sekarang
hal ini sudah umum, seringkali dilakukan oleh pakar, konsultan dan ahli di luar
kepolisian. Pelatihan manajemen bagi petugas senior, yang merupakan
perkembangan yang relative baru, hampir selalu menekankan pentingnya penilaian
kinerja. Apakah hal itu “TQM” atau “MBO,” filosofis managerial saat ini menekankan
pengukuran kinerja. Bantuan atau hibah untuk proyek atau program yang
diperebutkan kesatuan biasanya membutuhkan beberapa evaluasi baik tentang
proses implementasi dan hasil-hasilnya. Akhirnya kesatuan polisi memperluas
penelitian dan unit perencanaan mereka, memindahkannya dari sang kepala polisi
ke ruangan kantor dimana perencanaan strategis dan evaluasi program bisa
dilakukan. Tentu saja, walaupun masayarakat sejauh ini tidak menyadarinya,
polisi telah menjadi salah satu birokrasi pemerintahan yang paling terbuka.
Polisi berada di urutan kedua setelah sekolah negeri, saya pikir. Polisi
Amerika, khususnya, harus diberikan pujian yang lebih banyak atas suasana
keterbukaan ini.
Kemampuan teknis
polisi untuk mengumpulkan, mengelola, dan menganalisa informasi operasi telah
sangat meningkat dalam decade terakhir ini. Hingga saat-saat sebelum sekarang
ini, para pimpinan polisi tidak segera mengetahui berapa banyak petugas yang
sedang bertugas, dimana mereka ditugaskan, atau apa yang mereka sedang lakukan.
Sekarang pimpinan polisi memiliki informasi terkini tentang panggilan yang
membutuhkan pelayanan dan kejadian kejahatan, ketersediaan personil, pengerahan
sumber daya manusia, kegiatan beban kerja, dan tindakan yang dilakukan. Dengan
menggunakan sensus data, banyak kesatuan yang sekarang ini bisa mencocokkan
kebutuhan patroli yang dibutuhkan, polisi sector atau keseluruhan jurisdiksi
dengan sumber daya yang tersedia bagi mereka.
Masalahnya
adalah bahwa polisi sedang ditekan, baik dengan atau tanpa mencapai apa yang
diinginkan masyarakat untuk menunjukkan bahwa mereka melakukan pekerjaan mereka
secara efektif. Karena kapasitas teknis dan kemampuan intelektual telah
diciptakan untuk menunjukkan hal itu, maka pengukuran kinerja bukan masalah
lagi. Jadi pertanyaan yang menekan polisi saat ini adalah: Bagaimana polisi
harus menunjukkan bahwa mereka memang efektif?
Bab ini mencoba
menjawab pertanyaan ini. Pertama, bab ini meneliti jenis-jenis ukuran kinerja
yang sedang digunakan. Ukuran-ukuran ini termasuk angka kejahatan dan
viktimisasi, penilaian ketakutan terhadap kejahatan, dan berbagai ukuran
tentang kegiatan polisi. Kedua, bab ini meneliti pertukaran di antara ukuran
kinerja, dan efek dari penggunaan ukuran yang berbeda terhadap kegiatan atau
operasi polisi serta akuntabilitas polisi. Ketiga, bab ini merekomendasikan
beberapa prinsip yang harus diikuti oleh polisi dan masyarakat untuk memastikan
bahwa kinerja polisi ditunjukkan secara bertanggungjawab.
Pilihan-pilihan
Ukuran
efektifitas polisi yang paling terkenal adalah angka kejahatan. Masyarakat
ingin tahu apakah resiko menjadi korban kejahatan meningkat atau menurun.
Polisi berjanji untuk “melayani dan melindungi” dan hal ini berarti
perlindungan dari kejahatan. Angka kejahatan adalah pusat dari masalah, baik bagi
polisi ataupun masyarakat. Di AS, angka kejahatan ditentukan oleh informasi
yang diberikan satuan polisi lokal kepada FBI sebagai bagian dari system
Uniform Crime Reporting (UCR). Informasi dikumpulkan secara sistematis tentang
delapan jenis kejahatan serius, yang dikenal sebagai Part I atau kejahatan
Index: pembunuhan dan pembunuhan tidak disengaja, perkosaan, perampokan,
penganiyaan berat, pencurian dengan pemberatan, pencurian, pencurian kendaraan
bermotor, dan pembakaran. Negara demokratis maju lainnya memiliki system
pelaporang kejahatan nasional yang sama. Karena partisipasi di dalam system UCR
telah menjadi universal di AS, maka masyarakat mendapatkan pembaharuan setiap 3
bulan sekali melalui media masa tentang perubahan di daerah serta angka kejahatan
nasional, yang dibagi-bagi dalam kategori kejahatan. Laporan UCR tidak
diragukan lagi merupakan ukuran kinerja polisi yang paling terlihat.
Sayangnya angka
kejahatan UCR tidak sebagus fungsi mereka sebagai indicator efektifitas polisi.
Walaupun angka ini valid dan umum, yang menggambarkan apa yang ingin diketahui
masyarakat tentang polisi di seluruh negeri, angka ini memiliki 2 keterbatasan:
Angka kejahatan
UCR tidak bisa diandalkan (Sherman 1982). Akurasi angka ini tergantung pada apa
yang ingin dilaporkan masyarakat kepada polisi dan pada kejujuran serta
perhatian dan kerajinan yang sangat luar biasa dari polisi untuk mencatat apa
yang dilaporkan.
Untuk
menghindari masalah ini, pemerintah AS mulai melakukan survey terhadap korban
kejahatan pada tahun 1973, dalam sebuah upaya untuk mengetahui kejahatan apa
yang terjadi terhadap warga tanpa adanya mediasi laporan polisi. Dalam survey
ini, sejumlah besar sampel (42.000 rumah tangga) ditanya setiap 3 bulan apakah
anggota keluarga mereka telah menjadi korban kejahatan, tanpa melihat apakah
mereka telah melaporkan kejahatan itu kepada polisi atau tidak (Sourcebook of
Criminal Justice Statistics 1992). Gambaran kejahatan yang timbul dari Survey
Kejahatan Nasional (NCS) sangat berbeda dari apa yang diperoleh melalui
metodologi UCR. Misalnya, angka-angka UCR menunjukkan bahwa kejahatan dengan
kekerasan (pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, penganiayaan berat) telah
meningkat cepat sejak tahun 1973. Namun angka-angka NCS menunjukkan bahwa
kejahatan dengan kekerasan terhadap manusia (tidak termasuk pembunuhan)
memuncak pada tahun 1981 (Sourcebook 1992, t. 3.4) dan bahwa angka viktimisasi
untuk kejahatan dengan kekerasan menurun sebesar 13,2 persen antara tahun 1973
sampai dengan tahun 1989.
Jadi masalah
yang dihadapi organisasi kepolisian adalah bahwa metodologi yang berbeda untuk
penilaian kejadian kejahatan mengarah kepada kesimpulan yang berbeda
tentang efektifitas polisi. Ukuran-ukuran UCR akan terus mendominasi evaluasi
kinerja polisi lokal karena ukuran ini lebih murah daripada survey viktimisasi.
System ini sekarang bersifat universal, dan biaya yang dikeluarkannya kecil.
UCR telah sangat baik sehingga sebuah organisasi polisi akan harus menjelaskan
mengapa UCR tidak membagi data kepada organisasi polisi. Namun informasi NCS
tidak dibangun dari atas ke bawah (bottom up), yang mengambil keuntungan dari
apa yang telah dilakukan oleh pihak daerah. Informasi itu adalah survey sampel
nasional yang tidak bisa dipisahkan berdasarkan jurisdiksi tertentu. Untuk memperoleh
data viktimisasi daerah, lokalitas akan harus melaksanakan survey mereka
sendiri. Biaya melakukan hal ini sangat besar, dan survey itu sulit
dijustifikasi ketika superioritas survey viktimisasi di atas laporan polisi
tentang kejahatan bisa diperdebatkan.
Semua data
tentang kejadian kejahatan, apakah diperoleh dari catatan polisi atau survey
terhadap korban, memiliki cacat fundamental sebagai ukuran kinerja polisi.
Kejahatan bukanlah sesuatu yang benar-benar dikendalikan polisi. Memang sedih
untuk dikatakan, kejahatan tidak ditentukan oleh apa yang dilakukan polisi,
atau berapa banyak polisi. Lagi-lagi kriminolog telah menunjukkan bahwa
predictor kejahatan yang terbaik—di antara satuan polisi, kota, negara bagian,
dan negara, sebagai kebalikan dari individu—adalah factor ekonomi dan social,
yang dikenal dengan nama pendapatan, pengangguran, pendidikan, keberadaan kaum
minoritas, rumahtangga yang diurus oleh wanita sendirian, ukuran rumah tangga,
dan kepemilikan rumah (Walker, 1989). Angka-angka kejahatan di kota-kota besar
dapat diprediksi secara akurat 80 sampai 90 persen dari waktu itu ketika
faktor-faktor ini diperhitungkan. Prinsipnya tampaknya bahwa semakin besar unit
analisis, maka semakin besar varians yang yang diprediksi. Temuan ini mungkin
akan mengejutkan publik, tetapi tidak mengejutkan polisi. Berdasarkan
pengalaman mereka sendiri, polisi sering sedih melihat bahwa penegakan hukum
adalah sedikit lebih kecil dari Band-Aid pada kanker kanker kejahatan.
Jadi, dari sudut
pandang politik ketergantungan pada angka kejahatan yang dilaporkan sebagai
ukuran kinerja polisi tampaknya akan berisiko bagi polisi. Hal ini membuat
polisi bertanggung jawab atas keadaan yang mereka tidak dapat mengendalikannya.
Polisi tidak layak dipuji ketika angka kejahatan turun, atau disalahkan ketika
angka kejahatan naik. Namun, sampai saat ini risiko politik telah menjadi
sedikit. Mengingat pilihan antara angka kejahatan yang dilaporkan yang
meningkat dan angka viktimisasi yang menurun, pimpinan polisi lebih suka angka
kejahatan yang dilaporkan yang meningkat. Penalaran mereka tampaknya adalah
bahwa jika kejahatan berada di luar kendali mereka, maka lebih baik untuk
memiliki angka kejahatan yang meningkat daripada angka kejahatan yang menurun
karena mereka bisa berargumentasi bahwa mereka membutuhkan lebih banyak sumber
daya. Kepala polisi takut kepuasan publik yang mungkin timbul dari angka
kejahatan yang menurun lebih daripada kecaman public akibat angka kejahatan
yang meningkat. Sejauh ini, angka kejahatan yang meningkat belum dianggap
sebagai tanda-tanda kinerja polisi yang tidak memadai; sebaliknya angka
kejahatan yang meningkat dianggap sebagai indikasi jumlah polisi yang tidak
memadai.
Namun pada
tingkat akar rumput, kekecewaan dengan polisi mungkin saja berhubungan dengan
pengaturan, seperti saya sebutkan di awal bab ini. Hal ini bisa saja merusak
dukungan historis kritis masyarakat yang telah diberikan kepada polisi. Jika
tidak, pimpinan polisi dapat diharapkan untuk mengatakan secara terbuka apa
yang mereka katakan secara pribadi selama bertahun-tahun, yaitu, bahwa angka
kejahatan yang dilaporkan tidak valid sebagai sebuah ukuran kinerja polisi.
Singkatnya,
karena kejahatan yang dilaporkan sangat terkait dengan kinerja tenuously
polisi, polisi bisa saja semakin ditempatkan pada risiko politik ketika mereka
menggunakannya sebagai indikator evaluasi. Survey viktimisasi bukanlah solusi
untuk satuan polisi lokal. Survey itu juga tidak reponsif terhadap pemolisian
dan juga terlalu mahal untuk dilaksanakan polisi lokal. Jadi, dari sudut
pandang polisi, kedua ukuran umum kejahatan ini sebagian besar di luar kendali
mereka, dengan survei viktimisasi yang memiliki kelemahan tambahan karena lebih
mahal.
Ketakutan
Terhadap Kejahatan
Kekurangan dari
baik angka kejahatan yang dilaporkan maupun survey viktimisasi sebagai ukuran
kinerja polisi umum bukanlah berita baik bagi polisi ataupun kriminolog.
Bahkan, diskusi yang luas tentang kekurangan keduanya selama tahun 1980-an
mengarah kepada pengenalan sebuah ukuran kinerja baru—ketakutan akan kejahatan.
Alasannya adalah bahwa sementara polisi mungkin tidak mampu mengatasi kekuatan
keadaan sosial dalam menghasilkan kejahatan, mereka setidaknya bisa
meminimalkan rasa takut itu, khususnya ketakutan yang berlebihan (Skogan 1990).
Diasumsikan bahwa polisi mungkin saja memiliki pengaruh yang lebih atas secara
subyektif daripada secara obyektif. Ini bukanlah cara sinis yang dirancang
untuk membuat orang merasa aman bahkan ketika mereka tidak merasa aman. Rasa
takut terhadap kejahatan secara langsung mempengaruhi kualitas hidup, yang
independen dari viktimizations aktual (Skogan 1988, 1990). Selain itu, rasa
takut itu sendiri bisa saja bersifat kriminogenik karena hal ini menyebabkan
orang bertindak dengan cara-cara yang mendorong terjadinya kejahatan (Kelling
1985). Sebuah contoh dari hal ini adalah ketika orang-orang berhenti
menggunakan tempat dan akomodasi umum, sehingga menghilangkan massa kritis
orang-orang yang bukan penjahat yang mencegah kejahatan dengan kehadiran
mereka.
Survei-survei
yang menilai takut terhadap kejahatan sekarang bersifat umum. Di AS, perusahaan
survey komersial secara teratur melaporkan hasil-hasil survey mereka baik
tingkat kota maupun nasional (Sourcebook 1992). Item ketakutan juga merupakan
bagian dari survei kejahatan periodik Inggris, serta dari survei nasional yang
dilakukan oleh kantor perdana menteri di Jepang. Di tempat lain di dunia,
beberapa pemerintah daerah atau satuan kepolisian lokal melakukan survei
tahunan tentang kejahatan, ketakutan terhadap kejahatan, dan kinerja polisi
(misalnya, di New South Wales, Australia; Kent Constabulary, Inggris; Reno,
Nevada, dan Fort Stockton, Texas). Praktek ini tampaknya menyebar. Selanjutnya,
evaluasi tentang efektivitas program atau strategi tertentu polisi biasanya
menggabungkan survei public tentang ketakutan terhadap kejahatan (Kelling et al
1974;. Police Foundation 1981; Skogan 1990; Rosenbaum 1986; Hornick dkk.,
1989).
Penilaian
subyektif tentang kinerja polisi sekarang melampaui rasa takut terhadap
kejahatan. Penilaian ini termasuk kepercayaan pada polisi, kepuasan dengan
kontak khusus dengan polisi, persepsi tentang perilaku buruk polisi, komitmen
terhadap tindakan masyarakat terhadap kejahatan, dan kepercayaan kepada
tetangga seseorang. Beberapa pimpinan polisi, yang kecewa dengan kompleksitas
dari hubungan perubahan obyektif kepada praktek polisi, telah secara eksplisit
mengadopsi sebuah tes yang benar-benar subjektif terhadap kinerja polisi,
dengan alasan bahwa satuan polisi adalah sebaik yang dianggap masyarakat, dan
bahwa opini publik adalah ukuran kinerja yang terbaik.
Meskipun
ketakutan terhadap kejahatan adalah sebuah masalah di dalam dirinya sendiri,
yang membentuk perilaku publik dan yang mempengaruhi kualitas hidup, ada
masalah yang signifikan dengan menjadikannya sebagai ukuran kinerja polisi.
Seperti kejahatan, rasa takut tidak dapat dikendalikan oleh polisi. Penyajian
media tentang kejahatan mungkin saja sama kuatnya dalam membentuk persepsi
publik seperti tindakan polisi. Di Winnipeg, Kanada, misalnya, acara dialog di
radio dibanjiri dengan keluhan tentang meningkatnya kejahatan segera setelah
kehadiran berita melalui TV kabel dari Detroit, meskipun tingkat kejahatan
lokal tetap stabil. Dalam sebuah studi yang cermat tentang proses pembuatan
berita, Steve Chermak menunjukkan bahwa ketika tidak ada cerita kejahatan lokal
yang dramatis, Koran dan stasion TV berisikan cerita kejahatan dari seluruh
negeri diimpor yang layanan kabel (Chermak 1993; Ericson n.d.). Jika ini
umumnya benar, maka rasa takut terhadap kejahatan mungkin tidak hanya akan
tidak berhubungan dengan apa yang dilakukan polisi lokal, tetapi juga tidak
akan terkait dengan kondisi kejahatan lokal.
Membuat
pengurangan ketakutan sebagai sebuah prioritas bisa saja bertentangan dengan
prioritas yang lain, yang adalah tujuan yang sama berharganya dalam pemolisian.
Seseorang tentu tidak ingin polisi menekankan opini masyarakat tentang
kejahatan pada biaya pencegahan kejahatan yang sebenarnya. Demikian pula,
pembentukan tindakan polisi sesuai dengan distribusi ketakutan di dalam sebuah
komunitas bisa menghasilkan beberapa alokasi sumber daya yang bisa
dipertanyakan. Warganegara senior, misalnya, memiliki ketakutan terbesar
terhadap kejahatan, tetapi merekalah yang paling kecil kemungkinannya untuk
menjadi korban (Sourcebook 1992, t 3.17). Pria muda yang paling sedikit rasa
ketakutannya tetapi paling tinggi berisiko. Jika sebuah pilihan harus dibuat,
yang mana dari masalah-masalah kejahatan yang harus dipertimbangkan lebih
serius?
Intinya adalah
bahwa perlindungan dari kejahatan adalah apa yang paling diinginkan masyarakat
dari polisi. Dalam usaha untuk menentukan apakah polisi berhasil dalam hal ini,
peneliti menggunakan kedua ukuran keras dan lunak—yang subyektif dan obyektif.
Keduanya tidak berada di bawah kontrol polisi, setidaknya bila diukur di daerah
yang tidak sangat kecil. Beranjak melampaui ukuran kejahatan yang dilaporkan
meningkatkan biaya evaluasi. Biaya juga naik ketika evaluasi kejahatan berfokus
pada area geografis yang kecil, yang harus menunjukkan efek dari program
polisi. Semuanya, yang menilai efektivitas satuan polisi terhadap kejahatan
melibatkan sebuah pilihan antara ukuran yang obyektif yang murah tapi tidak
responsif terhadap pemolisian, atau ukuran subjektif yang mahal dan juga mungkin
tidak responsif terhadap pemolisian.
Kegiatan Polisi
Seiring dengan
ukuran-ukuran kejahatan, kelompok yang paling banyak digunakan kedua sebagai
indikator kinerja adalah kelompok yang mencerminkan kegiatan polisi. Hal ini
biasanya mencakup jumlah penangkapan yang dilakukan, jumlah tilang lantas yang
dikeluarkan, waktu respon untuk panggilan untuk layanan, dan jumlah obat ilegal
yang disita. Beberapa organisasi kepolisian juga telah menghitung jumlah
kelompok Patroli Lingkungan yang dibentuk, jumlah pertemuan pencegahan
kejahatan di masyarakat yang diselenggarakan, jumlah kontak bantuan dengan
korban yang dibuat, dan keanekaragaman ras personil polisi. Selain itu, ada
ukuran kualitatif dari aktivitas polisi, seperti penerapan pernyataan nilai
organisasi, pedoman kebijakan di dalam masalah perilaku polisi, dan prosedur
penanganan pengaduan warga.
Ukuran-ukuran
aktivitas sangat menarik bagi polisi untuk dua alasan: polisi menggunakan
informasi yang sudah ada di tangan, yang meminimalkan biaya, dan polisi mereka hampir
sepenuhnya di bawah kontrol polisi, yang mengurangi risiko. Sebagian besar
standar ini saat ini digunakan di AS oleh lembaga akreditasi, serta oleh
konsultan manajemen, berhubungan dengan aktivitas polisi daripada berdampak.
Saat ini,
Inggris adalah pemimpin di antara demokrasi maju dalam mengevaluasi kinerja
polisi secara sistematis (Bayley 1994). Pada umumnya, upayanya mengandalkan
ukuran kegiatan polisi. Sebagai contoh, Komisi Audit untuk Pemerintah Daerah
dan National Health Service mengumpulkan informasi setiap tahun tentang kinerja
43 organisasi polisi Inggris. Informasi itu diumumkan untuk pertama kalinya
kepada public pada bulan Desember 1994. Ukuran kinerja Komisi Audit ini adalah
sebagai berikut:
Manajemen
Panggilan dan Respon Insiden
(1) Waktu
dimana 99 persen dari panggilan di 999 ditangani
(2)
Persentase target waktu untuk waktu respon untuk keadaan darurat tercapai
Manajemen
Kejahatan
(3)
Tingkat kejahatan yang dilaporkan/ tingkat kejahatan yang terdeteksi (per 1.000
populasi)
populasi)
(4) Tingkat
pencurian di pemukiman/ tingkat deteksi (per 1.000 rumah)
(5)
Tingkat kejahatan kekerasan (penganiayaan berat, kekerasan seksual,
perampokan) / tingkat deteksi (per 1.000 penduduk)
perampokan) / tingkat deteksi (per 1.000 penduduk)
(6)
Kejahatan serius yang dideteksi/ jumlah total petugas polisi
Manajemen Lantas
(7) Jumlah
tes napas/ jumlah test napas positif
(8) Jumlah
penuntutan untuk mengemudi yang mengebut dan mengemudi secara berbahaya per
1.000 km jalan
(9) Jumlah Skema
Perbaikan Cacat Kendaraan Cacat (VDRS) pemberitahuan per 1.000 km jalan.
Jaminan Publik
dan Pemeliharaan Ketertiban Umum
(10)
Persentase dari total waktu petugas yang dihabiskan untuk berpatroli jalan kaki
atau sepeda
(11)
Persentase penangkapan yang tidak menghasilkan dakwaan
(12)
Jumlah hari kerja yang hilang sebagai akibat dari penganiayaan terhadap petugas
Hubungan
Masyarakat
(13)
Persentase kekuatan petugas, wanita
(14)
Persentase petugas, minoritas etnis / persentase etnis minoritas di daerah
satuan
(15)
Tingkat pengaduan / tingkat pengaduan yang dibuktikan (per 1.000 populasi)
Sumber Daya dan
Efisiensi
(16)
Pengeluaran untuk pemolisian per kepala penduduk
(17)
Pembayaran biaya dari semua jajaran atas di atas constable/ pembayaran biaya
semua constable (misalnya biaya pengawasan)
(18)
Persentase total staf sipil
(19)
Persentase pendapatan pemerintah daerah yang dihabiskan untuk polisi
(20)
Pengeluaran tahunan / jumlah petugas polisi
Item Pendapat
Publik
(21)
Persentase panggilan telepon yang disurvei dimana warga menyatakan puas dengan
penanganan polisi
(22)
Persentase orang yang meminta bantuan polisi yang,
ketika disurvei, merasa puas dengan respon polisi
ketika disurvei, merasa puas dengan respon polisi
Dari 20 ukuran
ini, 18 mewakili hal-hal yang dilakukan polisi, yang bertentangan dengan efek
yang ditimbulkan polisi kepada masyarakat. Hanya item 12 dan 15 tergantung pada
tindakan yang diprakarsai oleh masyarakat daripada polisi.
Juga di Inggris,
Kent Constabulary memperoleh Citizens’ Charter yang digelar setiap tahun.
Kepolisian ini menyatakan terikat dengan level khusus kinerja. Citizens’
Charters adalah inisiatif pemerintahan Konservatif John Major yang sedang
diperluas ke semua organisasi dan sektor public. Kent Constabulary Kent
menggunakan sembilan tolok ukur kinerja, dan ukuran ini diperbarui dan
diterbitkan setiap bulan:
1)
Kepuasan publik dengan pelayanan polisi;
2)
Kecukupan cakupan polisi untuk panggilan untuk layanan, misalnya, ketersediaan
unit pengerahan anggota;
3)
kepuasan korban kejahatan dengan penanganan polisi;
4)
rasio kejahatan yang terdeteksi menjadi kejahatan yang dilaporkan;
5)
kecepatan dalam menjawab panggilan telepon;
6)
kepuasan pemanggil;
7)
kecepatan tanggap darurat;
8)
kepuasan semua orang yang memiliki kontak apapun dengan
polisi; dan
polisi; dan
9)
kritik publik terhadap polisi.
Meskipun ukuran
aktivitas murah dan responsif terhadap inisiatif polisi, mereka, seperti ukuran
kejahatan, bisa dipertanyakan sebagai ukuran kinerja. Cacat utama mereka adalah
bahwa mereka dugaan. Mereka mengukur apa polisi lakukan daripada apa polisi
sedang selesaikan.
Dalam jargon
evaluasi, kegiatan polisi adalah output dari organisasi kepolisian, bukan
hasil. Menggunakan kegiatan untuk mengukur efektivitas polisi mengasumsikan
bahwa kegiatan ini benar-benar membuat masyarakat lebih aman. Hal ini
seringkali sangat diragukan. Misalnya, apakah peningkatan jumlah polisi dalam
suatu masyarakat mencegah kejahatan? Kebanyakan politisi tampaknya berpikir
begitu. Namun tidak ada
bukti bahwa peningkatan jumlah polisi bisa mengurangi tingkat kejahatan (Loftin dan McDowall 1982; Krahn dan Kennedy 1985; Gurr 1979; Silberman 1988; Walker 1989).
bukti bahwa peningkatan jumlah polisi bisa mengurangi tingkat kejahatan (Loftin dan McDowall 1982; Krahn dan Kennedy 1985; Gurr 1979; Silberman 1988; Walker 1989).
Demikian pula,
tingginya jumlah penangkapan tidak secara otomatis membuat masyarakat lebih
aman. Hal ini tergantung pada mengapa penangkapan dibuat. Menangkap seseorang
karena mengendarai sepeda yang cacat memiliki efek yang berbeda dengan
menangkap seorang pemerkosa berantai. Selain itu, masyarakat dengan tingkat penangkapan
tinggi tidak mungkin, kenyataannya, lebih aman daripada yang lain; mereka
mungkin saja hanya memiliki kejahatan yang lebih banyak. Penyitaan obat-obatan,
juga yang diukur dengan berat atau nilainya, lebih menggambarkan biaya pasokan
dan tingkat permintaan daripada efektivitas polisi di dalam memberantas
kegiatan obat-obatan (Eck 1989; Nadelman 1988; Reuter dan Kleiman 1986).
Akhirnya,
organisasi kepolisian sering berbicara dengan bangga tentang kecepatan
rata-rata dalam merespon panggilan 911. Namun, penelitian telah menunjukkan
bahwa penurunan kecepatan rata-rata respon tidak berpengaruh pada kejahatan,
penangkapan atau bahkan kepuasan warga (Bieck dan Kessler 1977).
Pengukuran
efektifitas polisi dengan menghitung tindakan mereka memang menarik karena
kegiatan berada di bawah kendali polisi, tetapi hal itu tidak memuaskan karena
tindakan itu bisa saja tidak memberikan kontribusi untuk keselamatan
masyarakat. Jadi, kelihatannya bahwa kesiapan evaluasi kinerja polisi berada di
antara batu keras dan tempat yang keras: apa yang ingin diketahui banyak
orang—keselamatan—sangat sulit diukur dan sedikit terkait dengan apa yang
dilakukan polisi, sedangkan apa yang dilakukan polisi mudah untuk diukur tetapi
mungkin tidak ada bedanya dengan keprihatinan publik.
Pengukuran
Trade-offs
Tabel 1 memuat
indikator yang sedang digunakan, atau yang direkomendasikan untuk digunakan,
untuk mengukur kinerja polisi di Australia, Inggris, Kanada, dan Amerika
Serikat. Indikator ini dibagi dalam dua kelompok—langsung dan tidak langsung.
Kinerja diukur secara langsung ketika indikator mencerminkan apa yang dicapai
polisi untuk manfaat publik. Kinerja diukur secara tidak langsung ketika
indikator menunjukkan apa yang polisi lakukan dalam hal tindakan. Alasan untuk
menggunakan ukuran tidak langsung adalah bahwa jika polisi melakukan pekerjaan
mereka dengan baik, maka tujuan sosial pemolisian akan dicapai. Dengan kata
lain, pengukuran langsung mengevaluasi tujuan pemolisian; ukuran tidak langsung
mengevaluasi sarana atau cara pemolisian.
Kedua ukuran
langsung dan tidak langsung dapat dibagi lagi antara indikator keras dan lunak.
Indikator keras obyektif, yang mencerminkan peristiwa konkret; indikator lunak
bersifat subjektif, mencerminkan kesan orang tentang kejadian.
Perbedaan-perbedaan
ini memungkinkan kita untuk memahami lebih mudah trade-off yang harus dihadapi
dalam mengukur kinerja polisi. Polisi, serta orang-orang yang mengawasi mereka,
harus menggunakan chart untuk mengkategorikan ukuran yang mereka gunakan di
daerah mereka. Hal ini akan memungkinkan mereka menentukan apakah mereka
mendapatkan nilai penuh dari pengukuran kinerja, sesuai dengan prinsip-prinsip
yang saya susun sekarang.
Tabel 1
I. Langsung
Keras
Tingkat
Kejahatan
Viktimisasi
Kejahatan
Nilai real
estate
Penggunaan
publik terhadap ruang umum
Kegiatan
komersial
Jumlah gangguan
situasi yang ditenangkan
Jumlah masalah
masyarakat yang diselesaikan
Pengaduan yang
diperkuat tentang perilaku polisi
Lunak
Ketakutan
terhadap kejahatan
Komitmen
masyarakat terhadap lingkungan
Kepuasan tentang
pelayanan polisi
Pengaduan
tentang pelayanan polisi
Kemauan untuk
membantu polisi
Persepsi tentang
kejujuran polisi
II. Tidak
langsung
Keras
Jumlah polisi
Jumlah petugas
patroli
Rasio staff
administrator dengan petugas polisi
Waktu respon
Penangkapan
Tingkat
penyelesaian kasus
Jumlah pertemuan
dengan masyarakat dalam pencegahan kejahatan
Jumlah pertemuan
kelompok siskamling warga
Kecepatan
menjawab telepon
Jumlah kontak
tindak lanjut dengan korban kejahatan
Nilai
obat-obatan yang disita
Kekuatan unit
urusan internal
Kebijakan
tertulis pada bidang bermasalah
Pernyataan nilai
organisasi
Keragaman
rekrutmen
Lunak
Moral
Harga diri
petugas
Persepsi polisi
tentang reputasi public mereka
Pengetahuan
polisi tentang masyarakat
Ukuran langsung
lebih baik dari ukuran tidak langsung untuk menentukan nilai sosial polisi.
Hanya ukuran langsung menunjukkan apakah polisi sedang efektif atau tidak.
Polisi bisa
lebih bertanggung jawab atas kinerja yang diukur secara tidak langsung daripada
secara langsung.
Ukuran kinerja
lebih mudah dan lebih murah bila indikator tidak langsung digunakan.
Semakin besar
tekanan terhadap polisi untuk efektif dalam hal biaya, maka semakin besar
kemungkinan mereka untuk mengganti ukuran kinerja tidak langsung menjadi langsung.
Hal ini terjadi karena kepentingan diri birokrat cenderung menggeser pengukuran
dari hal-hal yang tidak dapat dikendalikan menjadi hal-hal yang dapat
dikendalikan. Adalah lebih mudah bagi pimpinan polisi untuk menunjukkan bahwa
mereka telah menyimpan sejumlah syarat petugas polisi di jalan, telah merespon
dalam jumlah waktu minimum untuk panggilan yang membutuhkan pelayanan, atau
menjawab telepon segera daripada menunjukkan bahwa mereka telah menggunakan
sumber daya mereka sehingga keselamatan publik telah meningkat. Meminjam dari
hukum Gresham, yang mengatakan bahwa mata uang yang buruk menghilangkan mata
uang yang baik, saya mengusulkan kewajaran Bayley tentang ukuran kinerja:
semakin besar desakan terhadap efisiensi, maka semakin berkurang perhatian
untuk efektivitas (Bayley 1994).
Indikator lunak
merupakan suplemen penting bagi indicator yang keras karena persepsi
berkontribusi terhadap kualitas hidup dan juga mempengaruhi perilaku.
Langkah lunak
langsung mungkin saja tidak lebih responsif terhadap inisiatif polisi daripada
ukuran langsung yang keras. Namun indikator lunak tidak langsung mungkin
sedikit lebih kurang di bawah kontrol polisi daripada indikator keras tidak
langsung. Dengan kata lain, adalah lebih mudah untuk mempengaruhi perilaku polisi
dari sikap polisi, tetapi juga sama sulitnya untuk mempengaruhi perilaku publik
ataupun sikapnya.
Pergantian
ukuran keras dengan ukuran lunak mendorong polisi untuk
menjadi manajer pendapat daripada manajer keadaan.
menjadi manajer pendapat daripada manajer keadaan.
Untuk membuat
polisi akuntabel, evaluasi kinerja harus melibatkan ukuran langsung maupun
tidak langsung. Tindakan polisi tanpa hasil yang menguntungkan adalah tidak
bertanggung jawab. Efisiensi tanpa efektivitas adalah ekonomi palsu. Pada saat
yang sama, penilaian keefektifan perlu melibatkan pengkajian tindakan polisi
karena tindakan adalah cara untuk mencapai tujuan. Ukuran tidak langsung tidak
dapat dihindari ketika mengevaluasi efektivitas. Hal ini mengikuti bahwa ukuran
langsung tidak harus dilihat disukai terhadap ukuran tidak langsung. Ukuran
tidak langsung hanya tidak memuaskan ketika mereka digunakan secara eksklusif
untuk menentukan apakah kinerja kepolisian memuaskan.
Prinsip-Prinsip
Pengukuran Kinerja yang Bertanggung Jawab
Bisakah evaluasi
kinerja polisi dilakukan untuk menunjukkan efektifitas dan efisiensinya?
Bisakah trade-off dari pengukuran kinerja diminimalkan? Yang paling penting,
bisakah polisi dievaluasi dalam istilah yang mencerminkan kebutuhan masyarakat
serta dalam hal bahwa tujuan itu dapat dicapai? Jawaban untuk pertanyaan ini
adalah ya, asalkan polisi mematuhi aturan berikut.
Pertama—polisi
harus menyerah berpura-pura menjadi baris pertama pertahanan terhadap
kejahatan. Garis pertahanan pertama sebenarnya adalah keluarga dan gereja,
guru, pengusaha, teman sekerja, teman, kelompok masyarakat, dan rekan-rekan.
Polisi hanya mewakili baris pertama dari penyebarannya oleh pemerintah terhadap
kejahatan. Dengan sendiri, polisi hanya bisa berbuat sedikit untuk mencegah
kejahatan, setidaknya selama mereka terus menggunakan strategi tradisional.
Jika mereka terus menyetujui untuk, dan kadang-kadang bersikeras, dievaluasi
dalam hal pengendalian kejahatan, maka mereka berada dalam bahaya kehilangan
dukungan publik karena mereka berpura-pura akan dapat melakukan sesuatu yang
mereka tidak bisa lakukan. Menyadari keadaan ini, polisi cenderung untuk
mengganti ukuran tidak langsung dengan ukuran yang langsung. Namun mereka
akan jauh lebih sedikit terkena politik, bagaimanapun, serta lebih berguna
dalam mengembangkan solusi yang lebih kuat untuk masalah kejahatan, jika mereka
akan lebih jujur dengan publik tentang apa yang mereka bisa lakukan dan tidak
bisa lakukan.
Kedua—upaya
kepolisian untuk mencegah kejahatan harus dievaluasi hanya ketika upaya itu
ditargetkan pada jenis spesifik kejahatan di lokasi tertentu. Pelajaran utama
dari inisiatif pemolisian komunitas dari tahun 1980-an dan 1990-an adalah bahwa
polisi dapat mencegah kejahatan di seluruh negeri, tetapi dapat memiliki efek
nyata hanya ketika mereka fokus pada jenis-jenis kejahatan tertentu di
tempat-tempat dan waktu-waktu tertentu. Misalnya, mereka bisa berhasil dalam
mengurangi pencurian mobil di sekitar galangan kapal AL di Norfolk, Va.;
perdagangan narkoba di sebuah taman kota di Hartford, Conn; pencurian dari
mobil di sekitar Stadion Tiger di Detroit; prostitusi di daerah perumahan di
Edmonton, Kanada; dan penembakan di dekat sebuah sekolah menengah di
selatan-tengah Los Angeles (Eck et al 1987; Trojanowicz dan Bucqueroux 1990;
Goldstein 1990;. Sparrow et al 1990).
Dengan kata
lain, kontribusi polisi untuk pencegahan kejahatan harus dievaluasi hanya
ketika kontribusi itu memiliki peluang yang masuk akal untuk berhasil dan
terlihat berhasil. Untuk menunjukkan efektivitasnya, polisi harus memiliki
target. Proposisi ini memiliki implikasi penting. Karena polisi tidak bisa
melakukan semuanya, mereka harus bernegosiasi dengan masyarakat tentang apa
yang mereka akan lakukan. Hal ini diperlukan untuk membuat pencegahan kejahatan
oleh polisi diterima secara politis. Hal ini juga penting sebagai teknik
pencegahan kejahatan, karena konsultasi dari polisi dapat mendidik masyarakat
tentang realitas sebab-akibat kejahatan dan bisa meminta mereka dalam upaya
pencegahan yang berarti. Herman Goldstein benar ketika ia berpendapat bahwa
polisi tidak memiliki peluang untuk mengendalikan atau mencegah kejahatan
kecuali jika mereka menjadi lembaga pemecahan masalah yang meletakkan publik ke
dalam kepercayaannya dalam melakukannya (Golstein 1990).
Ketiga—polisi
harus mendapat pujian untuk semua yang mereka lakukan, bukan hanya untuk upaya
mereka dalam pengendalian kejahatan. Penelitian tentang efektivitas polisi
telah disembelih dengan diukur secara terlalu sempit. Polisi memberikan
kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat daripada sekedar mengendalikan
kejahatan, salah satu yang lebih mudah untuk ditunjukkan. Hal ini terjadi di
dalam tiga bidang secara khusus, semuanya secara kritis mempengaruhi kualitas
hidup:
(1)
intervensi yang otoriter dalam situasi yang kacau, berbahaya dan tak terduga;
(2)
penyelidikan kejahatan, penangkapan penjahat dan pengumpulan bukti yang
diperlukan untuk memperoleh penuntutan; dan
(3)
asumsi peran kepemimpinan dalam mengajarkan masyarakat apa yang mereka perlu
ketahui untuk mencegah kejahatan dan meningkatkan keselamatan.
Polisi sudah
melakukan dua hal pertama—intervensi otoriter dan penyelidikan kejahatan—dan
polisi sedang memulai belajar melakukan hal yang ketiga—pencegahan kejahatan
masyarakat. Intervensi yang segera dan berpikiran adil oleh polisi berdasarkan permintaan
individu adalah pencapaian besar terhadap masyarakat demokratis modern. Hal ini
menandakan sebuah peningkatan kualitatif dalam respon pemerintah. Demikian
juga, menunjukkan keberadaan tatanan hukum dan moral sangat penting untuk
mengembangkan budaya sipil manusiawi dan teratur. Penjahat dan penjahat lain
tidak bisa “lolos” dengan impunitas. Akhirnya, polisi diposisikan untuk
mendidik orang-orang tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk melindungi diri
mereka sendiri terhadap kejahatan.
Polisi juga
melakukan fungsi berharga lainnya sehingga mereka bisa saja mendapat pujian,
misalnya menyediakan layanan darurat penyelamatan, mengendalikan kerumunan
besar dan gangguan kolektif, dan mengembangkan informasi tentang kejahatan
serius yang mungkin terjadi.
Keempat—Polisi
harus dievaluasi dalam hal jenis organisasi yang mereka ciptakan, khususnya,
apakah organisasi itu bisa melakukan pencegahan kejahatan yang terfokus serta
intervensi otoritatif dan investigasi kriminal. Pengalaman dengan pemolisian
yang berorientasi kepada masyarakat dan masalah selama dekade terakhir
menunjukkan dengan jelas bahwa bagi polisi untuk mencegah kejahatan, mereka
harus mengembangkan kemampuan untuk menganalisis kebutuhan masyarakat,
merumuskan strategi multilateral, memobilisasi semua sumber daya masyarakat,
mengkoordinasikan upaya-upaya di lembaga, menyesuaikan pemberian pelayanan
mereka dengan keadaan sosial yang bervariasi, dan mengevaluasi efektivitas apa
yang dilakukan (Bayley 1994).
Sebelumnya, saya
berpendapat bahwa kinerja polisi tidak harus diukur semata-mata dengan tingkat
aktivitas. Pengukuran harus mencerminkan apa yang polisi capai di dalam
masyarakat. Namun masalah dengan ukuran aktivitas—tidak langsung, keras—tidak
saja ukuran itu bersifat dugaan; mereka cenderung bersifat mekanistik,
lebih memperhatikan terhadap yang dilakukan organisasi daripada terhadap apa yang mampu dilakukannya. Untuk menutup kesenjangan antara keluaran dan hasil, ukuran keluaran baru harus ditemukan. Hal ini harus mencerminkan kemampuan organisasi polisi untuk beradaptasi, berkonsultasi, memobilisasi, mendiagnosa, menyusun strategi, memecahkan masalah, dan mengevaluasi. Indikator terbaik dari apa yang bisa dilakukan organisasi kepolisian bukanlah waktu respon kali, tingkat penangkapan dan penyitaan obat-obatan. Ukuran terbaik adalah anggaran program, desentralisasi perintah, penelitian sistematis atas “praktik terbaik,” pemecahan masalah dari bawah ke atas, supervisor yang memfasilitasi bukan hanya mengaudit, yang menunjukkan keterampilan daripada peringkat, dan sistem informasi yang berbasis manajemen. Singkatnya, kualitas manajemen adalah elemen yang hilang dalam penilaian sebagian besar kinerja organisasi kepolisian.
lebih memperhatikan terhadap yang dilakukan organisasi daripada terhadap apa yang mampu dilakukannya. Untuk menutup kesenjangan antara keluaran dan hasil, ukuran keluaran baru harus ditemukan. Hal ini harus mencerminkan kemampuan organisasi polisi untuk beradaptasi, berkonsultasi, memobilisasi, mendiagnosa, menyusun strategi, memecahkan masalah, dan mengevaluasi. Indikator terbaik dari apa yang bisa dilakukan organisasi kepolisian bukanlah waktu respon kali, tingkat penangkapan dan penyitaan obat-obatan. Ukuran terbaik adalah anggaran program, desentralisasi perintah, penelitian sistematis atas “praktik terbaik,” pemecahan masalah dari bawah ke atas, supervisor yang memfasilitasi bukan hanya mengaudit, yang menunjukkan keterampilan daripada peringkat, dan sistem informasi yang berbasis manajemen. Singkatnya, kualitas manajemen adalah elemen yang hilang dalam penilaian sebagian besar kinerja organisasi kepolisian.
Kesimpulan
Evaluasi kinerja
lebih dari sebuah latihan akademis, sebuah masalah metodologi dan angka.
Bagaimana kinerja diukur mempengaruhi tidak hanya apa yang diketahui masyarakat
tentang polisi, tetapi juga karakter operasi polisi dan iklim manajemen. Karena
evaluasi kinerja menetapkan prioritas, insentif dan persyaratan, maka evaluasi
terlalu penting untuk diserahkan kepada teknisi. Pengukuran kinerja harus
dipandang sebagai bagian integral dan berkelanjutan dari manajemen pemolisian.
Bagi polisi
untuk bertanggung jawab terhadap kepercayaan publik, evaluasi kinerja harus
menekankan hasil. Cara di sekitar kesulitan pengukuran prestasi pemolisian
(langsung, indikator keras) tidak dengan menggantikan survei opini publik
(langsung, indikator lunak) atau penghitungan kegiatan polisi (tidak langsung,
indikator keras); melainkan adalah dengan membuat penilaian kualitatif tentang
kemampuan organisasi polisi untuk bekerja sebagaimana diharuskan oleh
pencegahan kejahatan yang efektif. Ukuran output menjadi kurang bisa
diperkirakan ketika ukuran itu menjelaskan kemampuan daripada kegiatan. Dengan
mengevaluasi karakter dari manajemen polisi, pengukuran tidak langsung dan
keras ditekan lebih dekat dengan ukuran langsung dan keras. Karakter organisasi
adalah jembatan antara output dan hasil. Jadi baik penilaian kualitatif dan
kuantitatif harus menjadi bagian dari ukuran kinerja yang bertanggung jawab.
Singkatnya,
ukuran kinerja sangat penting untuk pemolisian demokratis yang bertanggung
jawab. Polisi tidak perlu takut asalkan mereka jujur tentang tujuan mereka,
mengevaluasi secara terpisah dan tepat berbagai kontribusi yang mereka buat
untuk masyarakat, memfokuskan kegiatan pencegahan kejahatan pada masalah
tertentu, dan berusaha setiap saat untuk membangun sebuah organisasi yang lebih
cerdas. Jika polisi memainkan permainan evaluasi dengan aturan-aturan ini, maka
mereka dan masyarakat umum kedua-duanya menang.
0 komentar:
Posting Komentar